Franklin W. Dixon Hardy Boys - Komplotan Pemuja Voodoo Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Judul Asli THE VOODOO PLOT Oleh Franklin W. Dixon Terjemahan oleh Prodjosoegito Copyright © 1982 oleh Stratemeyer Syndicate Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Diterbitkan pertamakah dalam bahasa Inggris oleh Wanderer Books dari Simon & Schuster Divisi dari Gulf & Western Corporation Simon & Schuster Building 1230 Avenue of the Americas New York, New York 10020 Diterbitkan pertamakah dalam bahasa Indonesia oleh PT. INDIRA, Jalan Sam Ratulangi 37 Anggota IKAPI Jakarta -1985 Cetakan I : Januari 1985 Dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo, Jakarta Daftar Isi 1. Pengintaian ... 1 2. Jangan Injak Aku ... 12 3. Karnaval ... 26 4. Petunjuk Minyak Ular ... 37 5. Pemburuan Ular ... 53 6. Ancaman Bisa ... 63 7. Upacara yang Menakutkan ... 73 8. Tersesat di Rawa ... 83 9. Pencarian dari Udara ... 98 10. Kalap ... 109 11. Petunjuk Tukang Sihir ... 120 12. Voodoo ... 130 13. Kesulitan Beruntun ... 143 14. Nyanyian Sandi ... 152 15. Raja Datang ... 161 16. Piknik yang Aneh ... 171 17. Bernasib Baik ... 179 18. Pesta Dansa Bertopeng ... 190 19. Pergumulan di Loteng ... 199 1. Pengintaian Frank dan Joe Hardy berdiri di pintu kamar kerja ayah mereka. Mereka baru pulang dari latihan bola basket di lapangan basket tak jauh dari rumah mereka. Kedua pemuda itu masih mengenakan pakaian latihan ketika mendengar nama mereka dipanggil. Joe yang berambut pirang dan setahun lebih muda dari Frank, kakaknya, membawa bola di bawah lengannya. Di dalam kamar kerja, Fenton Hardy duduk di belakang meja, sedang membalik-balik setumpuk kertas. Seorang lagi duduk di depannya. "Halo, Ayah," kata Frank untuk menarik perhatiannya. "Ada apa ayah memanggil kami?" Pak Hardy mendongak dan mengangguk ke arah tamunya. "Anak-anak, inilah Pak Durby McPhee," ia memperkenalkan tamunya yang jangkung berambut merah. "Ia memiliki ruang pameran seni dan toko barang antik di kota." "Ah, ya. Kami tahu tempat itu," kata Frank. "McPhee's Antiques di Baker Street. Bibi Ger-trude senang sekali ke sana dan berkeliling melihat-lihat." Pak McPhee berdiri dan mengulurkan tangannya yang bertulang menonjol dan pucat kepada Frank dan Joe. "Kudengar kalian mengikuti jejak ayahmu, dan telah menjadi detektif yang baik," katanya sambil berjabat tangan. "Karena itulah aku kemari. Aku ingin mempekerjakan kalian malam ini." "Apa yang akan kami lakukan?" tanya Joe. "Mengawasi ruang pameranku. Aku sedang menyuruh memasang alat tanda bahaya, tetapi belum akan selesai sampai besok. Apakah kalian telah mendengar tentang pencurian-pencurian di tempat-tempat pameran seni di seluruh negeri?" "Ya," jawab Frank. "Kami tahu. Ayah sedang mulai bekerja untuk perkara itu." "Betul," kata McPhee. "Pak Kepala Polisi Collig mengatakan demikian kepadaku pagi tadi. Sudah terjadi banyak kesulitan di beberapa negara bagian. Yang mungkin belum kalian ketahui ialah, bahwa Art Deco Gallery di Lewiston telah kecurian tadi malam. Lebih dari lima puluh ribu dollar telah tercuri, berupa barang perak dan lukisan-lukisan. Art Deco satu-satunya toko barang antik dalam jarak sepuluh kilometer dari sini. Aku menjadi khawatir, jangan-jangan tempatku akan mendapat giliran yang berikut." "Aku dapat memahami," kata Frank. "Lebih-lebih lagi," McPhee meneruskan, "aku telah melihat orang aneh berkeliaran di sekitar tempatku beberapa hari yang terakhir ini." "Orang aneh?" tanya Frank. "Ya. Ia memakai topi bersudut tiga." "Topi bersudut tiga?" seru Joe. "Topi macam itu sudah ketinggalan mode beberapa ratus tahun yang lalu!" McPhee mengangkat kedua tangannya. "Aku tahu bahwa ini kedengarannya sinting, tetapi itulah yang kulihat." "Anda menduga orang itu sedang menyelidiki toko anda?" tanya Frank yang berumur delapan belas dan berambut hitam. Orang itu hanya mengangkat bahu. "Bisa jadi, bukan?" "Kukira, orang yang sedang menyelidik mencari sasaran pencurian tak akan berpakaian me-nyolok," kata Joe. Sekali lagi McPhee mengangkat bahu. "Ba- rangkali orang itu memang sinting. Tetapi yang kutahu, aku khawatir, dan aku akan merasa lebih enak kalau mempunyai beberapa penjaga. Orang-orang yang memasang tanda bahaya berjanji bahwa alat-alat itu akan bisa bekerja besok, tetapi aku perkirakan baru akan selesai dalam beberapa hari lagi." Joe menyeringai. "Sebenarnya kami sudah berkencan akan menonton karnaval di Bayport Meadows besok malam." "Dapatkah ditunda pembelian karcisnya?" "Ya, kukira begitu, kalau perlu." "Baik. Bagaimana pun mungkin hanya untuk nanti malam. Kalian terima tugas itu?" "Dengan senang," kata Frank. "Kami ada ujian besok, tetapi sambil mengawasi, kami dapat saling menguji pelajaran di mobil, ya Joe?" Joe mengangguk. "Hanya ujian pertengahan semester," ia menjelaskan. "Sesudah besok pagi dan pertandingan bola basket pada siang harinya, kami mendapat liburan musim semi. Saat itu kami akan punya banyak waktu untuk membantu ayah dalam perkara itu." Fenton Hardy, yang pernah pula menjadi bintang lapangan bola basket ketika masih di SMA, bersinar-sinar wajahnya, bangga atas kedua anaknya. "Anak-anakku terlalu merendah," katanya kepada McPhee. "Pertandingan besok itu adalah untuk kejuaraan wilayah." "Aku jadi terkesan!" McPhee berkata sambil tersenyum. "Barangkali aku akan menonton mereka memenangkan pertandingan." "Kembali kepada masalah Anda," Frank mengalihkan pembicaraan. "Apakah Anda sudah memberitahu polisi?" McPhee menggeleng. "Mereka tak akan banyak membantu kalau apa yang kumiliki hanya rasa curiga. Tentu, aku dapat meminta mobil patroli lebih sering mengamati tempatku, tetapi itu belum cukup. Aku merasa lebih aman kalau kalian yang mengawasi tokoku. Nah, semua pencurian itu tak pernah terjadi sesudah tengah malam. Jadi, katakanlah, kalian dapat pulang sesudah jam setengah satu." Frank berpaling kepada ayahnya. "Apakah itu tidak aneh, Ayah? Maksudku, faktor waktu itu?" "Sebenarnya tidak," jawab detektif terkenal itu. Ia telah mendapatkan banyak pengalaman ketika masih berdinas di Dinas Kepolisisn Kota New York. "Harap kalian ketahui, setelah lalu-lintas menurun dan jalan-jalan menjadi sepi, para pencuri akan lebih menarik perhatian polisi patroli. Rupa-rupanya orang-orang ini lebih menyukai beroperasi dekat setelah matahari silam, tetapi jalan-jalan masih ramai. Karena mereka juga mencuri perabotan antik maupun lukisan-lukisan, di samping barang-barang perak dan permata, mereka harus menggunakan truk. Itu dapat dilakukan tanpa menarik perhatian bila jalan-jalan masih ramai." McPhee minta diri sebentar ke kamar kecil, sementara Pak Hardy membicarakan tempat yang paling baik untuk bersembunyi bagi kedua anak-anaknya. Tak lama kemudian, pak Hardy mengantarkan pedagang barang antik itu ke pintu, dan berjanji bahwa anak-anaknya akan segera melakukan tugas setelah makan malam. Setelah mandi dan makan, Frank dan Joe mengambil buku dan naik ke mobil sport kuning mereka. Senja sedang merembang petang ketika mereka tiba di bagian yang ramai dari kota Bay-port, di mana toko dan ruang pameran McPhee berada. Mereka memarkir mobil mereka di seberang tempat tersebut, di depan sebuah rumah makan pelayanan cepat, agar mobil mereka tidak akan menarik perhatian para calon pencuri. "Bagaimana kalau ke belakang tempat itu?" tanya Joe kepada kakaknya. "Aku merasa pasti, bahwa pencuri tak akan memuat barang-barang curiannya melalui pintu depan." "Itu betul," jawab Frank. "Mereka akan menyediakan truk di bagian belakang tempati parkir. Aku akan ke sana sekarang, hendak melihat apakah ada orang di sana. Kalau tidak, kita masih dapat melihat mereka membawanya masuk. Mereka harus melalui jalan masuk yang ada di sebelah kiri itu. Tak ada jalan lain ke tempat parkir." Ia turun dari mobil dan berjalan seenaknya menyeberangi jalan. Ia mengamati toko itu dengan teliti, yakin tidak ada orang yang mencurigakan. Kemudian ia kembali kepada Joe, dan mereka saling memberikan soal-soal pelajaran untuk ujian esok hari. Sementara itu, mereka tetap mengawasi toko barang antik. Setelah satu jam, mereka beristirahat. Joe masuk ke rumah makan, membeli air soda. Setelah keluar lagi, ia melanjutkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kakaknya. Dengan sebuah senter kecil ia membaca buku, sementara kakaknya menjawab sambil tetap memasang mata ke toko. "Disebut apakah prajurit-prajurit revolusioner yang siap meninggalkan rumah tangganya untuk bertempur bila Paul Revere telah memberikan isyarat," tanya Joe. "Pasukan Minuteman," jawab Frank dengan benar. "Kapan James Oglethorpe mengantarkan kaum pelarian dari penjara-penjara Inggris ke Georgia?" "Tujuh belas tiga puluh tiga." "Bagus," kata Joe. "Sekarang, sungai apakah yang diseberangi George Washington..." "Padamkan sentermu!" bisik Frank sambil memegangi lengan adiknya. "Aku melihat seseorang." Joe memadamkan senternya dan mengawasi jalan yang gelap. Tiba-tiba seseorang berlari-lari masuk ke jalan halaman toko, di pundaknya tersandang sebuah karung. "Mari kita tangkap!" seru Joe. "Betul." Kedua pemuda itu melompat turun dari mobil dan berlari ke tempat parkir. Tetapi ketika tiba di sana, orang itu tak nampak di mana pun. Frank dan Joe berhenti, tak mengerti. Kemu-dian Joe menunjuk ke pagar tanaman yang memisahkan tempat parkir toko McPhee dengan tanah orang lain di belakangnya. "Ia tentu telah mengetahui bahwa kita mengamati dia, lalu melarikan diri!" katanya. Frank mengangguk. "Ayo terus!" Mereka menyeruak menerobos pagar tanaman dan berlari mengitari gedung ke sisi yang lain. Ketika mereka tiba di jalan kembali, tak nampak ada tanda-tanda orang tersebut! "Ia lolos!" Joe mengeluh. "Barangkali belum," kata Frank. "Engkau ke kiri, aku akan ke kanan. Kita bertemu kembali di mobil." Frank bergegas, berharap dapat melihat orang itu di ruas jalan berikutnya. Tetapi ia tak beruntung. Orang itu tentu telah menyelinap di antara gedung-gedung, kecuali kalau Joe lebih berhasil menangkap dia, pikir Frank. Dengan kecewa ia kembali ke mobil. Beberapa menit kemudian Joe kembali, juga tak berhasil. Pada saat itu, mereka melihat seorang anggota polisi yang telah mereka kenal. Polisi itu keluar dari toko McPhee. Mereka berlari menemuinya dengan perasaan khawatir. "Ada sesuatu yang tak beres, Pak Gills?" tanya Frank. "Belum pasti. Ketika aku lewat, kulihat pintu setengah terbuka. Aku menelepon pak McPhee. Ia segera datang." Frank dan Joe merasakan sesuatu mengganjal di dalam lambungnya. Apakah ada orang yang telah membongkar masuk ketika mereka sedang mengejar orang yang membawa karung itu? Pada saat itu McPhee datang. Ia melangkah melewati kedua pemuda dan anggota polisi itu, lalu berlari masuk ke tokonya. Beberapa saat kemudian ia keluar lagi, gelisah kebingungan. "Aku dirampok!" ia berseru. "Sebuah setelan alat makan perak dan tiga lukisan hilang!" Ia menatap kedua pemuda. "Apa yang telah terjadi?" "Kami dipancing keluar, Pak," Frank mengakui. Kemudian dengan singkat ia menceritakan bagaimana mereka mengejar orang yang membawa karung. "Dan kalian dianggap sebagai detektif-detektif besar!" tukas McPhee. "Itulah, kalau aku percaya kepada anak-anak!" Ia lari masuk ke toko lagi, menggerutu marah-marah, kemudian keluar lagi, mengunci pintu, lalu pergi dengan mobilnya. "Kuncinya tidak dibuka-paksa?" tanya Frank kepada pak polisi. "Tidak. Pencuri itu menyelinap dari jendela di belakang. Memang agak kecil dan tinggi. Ia tentu seorang akrobat dari sirkus untuk dapat masuk ke sana. Orangnya tentu kurus, lagi." Pak Gills menggeleng-gelengkan kepala penuh keheranan, kemudian berkata: "Dapatkah kalian datang ke kantor besok pada jam tujuh pagi? Kami memerlukan laporan dari kalian." "Tentu," Joe berjanji. Polisi itu pergi dan kedua pemuda itu kembali ke mobil mereka. "Kalau kupikir-pikir, apakah engkau melihat topi apa yang dipakai orang yang telah menipu kita tadi?" Joe menggumam. "Bagaimana tak kulihat?" kata Frank. Ia maksudkan, sebuah topi lebar bersudut tiga. "Tentu orang yang telah dilihat pak McPhee. Tetapi aku tak dapat melihat wajahnya. Engkau?" "Sama sekali tidak." Pemuda pirang itu menghela napas. "Topinya ditarik ke bawah. Bagaimana pun, memang terlalu gelap untuk dapat melihat dia dengan jelas." Frank mengangguk dan membuka pintu mobil. Baru saja ia hendak masuk untuk duduk, ia terhenyak. Ia melompat mundur, ketika dilihatnya mobilnya penuh ular beludak! 2. Jangan Injak Aku "Tutup pintu!" seru Joe, ketika kakaknya dengan mulut ternganga berdiri saja memandang ke dalam mobil. Mobil itu penuh ular-ular beludak! Suara ber-gemeratak yang timbul di ekornya, menandakan bahwa mereka telah siap untuk memagut. Dua ekor melingkar di tempat duduk, beberapa ekor lagi menggeliat-geliat di lantai, dan seekor lagi menjulai di sandaran sebelah sopir. Frank pulih kembali akalnya dan membanting pintu mobilnya hingga tertutup, mengurung reptil-reptil berbisa itu di dalam. "Bagaimana mereka dapat masuk?" ia bertanya tersengal. "Aku yakin, orang bertopi tiga-sudut itulah yang. memasukkan, setelah ia merampok toko!" Joe menggerutu. "Ia tentu tahu, bahwa ayah sedang menyelidiki perkara ini. Mungkin ia telah mengawasi rumah kita, lalu mengikuti kita kemari." "Wah, kita tak dapat pulang dengan mobil yang penuh ular," kata Frank. "Mungkin ayah dapat menjemput." Ia masuk ke telepon umum di rumah makan dan menelepon ayahnya, tetapi saluran rupanya sedang dipakai. Ia lalu mencoba menelepon Chet Morton, teman mereka. Chet adalah seorang pemuda gemuk, periang, dan telah sering ikut kedua pemuda itu membongkar misteri. "Kedengarannya engkau telah bertemu dengan orang sinting," kata Chet setelah mendengar cerita Frank. "Aku akan segera datang." Frank dan Joe sedang duduk di pinggir jalan dekat mobil mereka, ketika mobil tua Chet terbatuk-batuk berjalan di Baker Street. Chet segera turun dari mobilnya dan melihat ular-ular itu. "Benar, nampaknya mereka ganas-ganas," katanya meniru lafal orang gunung. "Kalian anak-anak muda harus lebih hati-hati lagi di sekitar sini. Bukit-bukit itu penuh dengan ular yang ingin membonceng ikut ke kota!" Frank tertawa. "Dan perutmu penuh dengan angin! Tetapi memang ada satu yang benar. Kalau ada seseorang yang hendak mencuri mobil kami malam ini, ia akan menghadapi kejutan yang tak menyenangkan." Ketiga pemuda itu naik ke mobil Chet dan segera menuju ke rumah keluarga Hardy. Ketika ayah mereka membukakan pintu, mereka dapat mejihat dari wajahnya, bahwa ia pun telah mengetahui apa yang telah terjadi. "McPhee menelepon dan menceritakannya kepadaku," kata ayahnya. "Ia sangat bingung. Aku ingin mendengar pengalamanmu." "Kami terpancing mengejar orang bertopi tiga sudut dan membawa karung, sementara toko dirampok," kata Frank. "Dan sebagai puncaknya, kami kira ia telah meninggalkan peringatan sedikit di mobil kami. Sekarung ular beludak!" "Apa?" Pak Hardy seperti tak mengerti. Setelah kedua pemuda itu bercerita selengkapnya, detektif itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya, rupa-rupanya orang bertopi tiga sudut itu memang ada hubungannya dengan pencurian-pencurian. Aku akan memeriksanya dari perkara-perkara yang lain, barangkali orang itu juga terlihat di sana. Seperti yang telah kalian ketahui, aku baru saja memulainya, dan aku belum sempat memeriksa seluruh berkas-berkasnya." "Apa yang ingin kami ketahui," kata Joe dengan bersuara keras, "dari mana ular-ular sebanyak itu. Suatu cara yang luar biasa untuk menyingkirkan kita. Yang jelas, orang tak mungkin dapat memperoleh ular sebanyak itu di toko binatang peliharaan. Aku belum pernah melihatnya di daerah ini, kecuali di kebun binatang." "Ke sanalah kita besok pergi, begitu selesai dengan ujian," kata Frank. "Bukan saja kita harus mengetahui asal tempat ular-ular itu, tetapi juga meminta orang yang dapat mengambil ular-ular itu dari mobil kita." Frank, Joe dan Chet memperbincangkan misteri itu sejenak lagi, kemudian teman mereka pulang. Kedua pemuda detektif itu lalu tidur. Mereka terbangun esok harinya pagi-pagi, mendengar teriakan wanita dari lantai bawah. Bibi Gertrude, bibi kedua pemuda yang tinggal bersama mereka, sedang berbicara keras dengan nada marah. Ia memang sering keras terhadap Frank dan Joe, meskipun jauh di dalam lubuk hatinya sangat menyayangi dan mengagumi kepandaian kedua kemenakannya dalam penyelidikan. Tetapi pagi itu kata-katanya ditujukan kepada orang lain. Kedua pemuda itu berlompatan menuruni tangga, ingin tahu apa masalahnya. "Tetapi harus ada, entah di mana!" bibi menggerutu ketika kedua pemuda itu memasuki dapur. Wanita yang jangkung itu berdiri sambil bertolak pinggang, memandangi pak Hardy yang sedang duduk di kursi, wajahnya tersembunyi di balik suratkabar. "Engkau sebaiknya menemukannya!" "Selamat pagi!" pak Hardy menyalami anak-anaknya. Ia merasa lega anak-anaknya ada di sana. "Rupa-rupanya kita pun mengalami suatu misteri. Aku dituduh salah meletakkan kaos kakiku." Pak Hardy mengedipkan matanya kepada kedua anaknya, sambil tersenyum sedikit dari balik korannya, sedemikian hingga adiknya, bibi Gertrude, tidak melihatnya. "Ihhh," seru Bibi Gertrude. "Ayahmu itu, detektif besar, sepasang kaos kakinya saja hilang! Katanya, ia telah mencarinya di mana-mana, dan tak ketemu, lagi! Kukira kaos kaki itu sudah bangkit lalu berjalan sendiri dan pergi!" Frank dan Joe harus berjuang keras untuk menahan senyum mereka, berpura-pura serius. "Kami akan mencarinya, Bibi," janji Frank. Sementara Bibi menyediakan telur dadar, mereka berdua menggeledah seluruh rumah. Mereka memeriksa di bawah almari pakaian ayah mereka, di keranjang cucian dan di belakang mesin cuci. Tetapi sampai saat bibi mereka memanggil agar kembali ke dapur, mereka belum juga menemukannya. Setelah sarapan, kedua kakak beradik itu mengumpulkan buku-buku mereka, mampir ke kantor polisi untuk melaporkan secara terperinci kejadian-kejadian tadi malam. Kemudian mereka pergi ke sekolah. Ujian mereka selesai menjelang siang, dan keduanya merasa membuat ujian dengan baik. Namun mereka gelisah, karena teman sekelas Joe, Peter Walker, bintang dari regu bola basket mereka tidak datang ke sekolah pagi itu. "Kuharap saja ia tidak sakit," kata Joe ketika mereka meninggalkan gedung sekolah. "Semoga," kakaknya menyetujui. "Kita tak akan menang dalam kejuaraan ini tanpa Peter." "He, Bung!" seru Chet sambil berlari menuruni undakan depan untuk mengejar teman-temannya. "Bagaimana ujian kalian?" Frank dan Joe selalu mendapatkan nilai "A" di SMA Bayport, tetapi Chet rata-rata "B" dan "C". Ia anak yang cerdas, tetapi agak malas belajar. "Bagus," jawab Frank. Ia berhenti membiarkan temannya menyusul. "Kau bagaimana?" Chet mengernyit. "Tak tahu. Kukira oke dengan bagian multiple choice, tetapi karangannya sulit!" "Ah, sekarang sudah lewat, jangan risau lagi," Joe menghibur. "Tak mau ikut dengan kami? Kami akan ke kebun binatang." Wajah Chet bersinar. "Mencari orang yang dapat mengambil ular-ular itu?" ia bertanya. "Ya," jawab Frank. "Kami juga ingin mengetahui, dari mana asal mereka." "Nah, ayolah kita berangkat," kata Chet. "Biar aku yang menyetir." Ketiga pemuda itu berdesakan di mobil tua Chet, dan beberapa menit kemudian mereka telah memarkir mobil di luar Kebun Binatang Bayport. Kebun Binatang itu hanya kecil, tetapi mempunyai bagian reptilia yang bagus. Ahli reptilianya, yang disebut herpetolog, masih muda dan baru menamatkan kuliahnya. Kulitnya agak kuning, bermata besar dan rambutnya lebih hitam daripada rambut Frank. Ia mendengarkan cerita pemuda-pemuda itu. "Ada orang yang sengaja meletakkan ular-ular itu di mobilmu?" ia bertanya dengan semakin tertarik. "Benar," jawab Joe. "Seseorang yang bertopi tiga sudut. Kenalkah engkau seseorang di sekitar sini yang suka mengumpulkan ular, dan memakai topi seperti itu?" Herpetolog itu menggelengkan kepalanya. "Memang ada beberapa orang yang suka mengumpulkan ular di daerah Bayport sini, tetapi tak seorang pun dapat mengumpulkan ular belu- dak sebanyak itu. Tetapi kami juga mempunyai beberapa ekor di kebun ini." "Ada yang hilang?" tanya Chet. "Tidak. Aku telah memeriksanya tadi pagi. Kalau ada yang hilang, aku tentu mengetahuinya." Herpetolog itu masuk ke bagian belakang dan kembali lagi membawa beberapa karung dan sebuah tongkat panjang dengan kawat melingkar di ujungnya. Dengan alat-alat itu mereka bermobil kembali ke Baker Street, di tempat Frank dan Joe meninggalkan mobil mereka. Dengan menggunakan tongkat itu, herpetolog itu "menjerat" tubuh ular itu dengn kawatnya yang melingkar bulat, lalu dimasukkannya ke dalam karung. Ular-ular itu nampak tak begitu ganas seperti pada malam sebelumnya. "Mereka telah kedinginan di dalam mobil kalian," ahli reptilia itu menjelaskan. "Seperti halnya hewan berdarah dingin lainnya, kalau cuaca menjadi dingin, mereka menjadi lamban." "Ular beludak jenis apa ini?" tanya Joe. "Pygmi," kata ahli itu sambil memasukkan ular terakhir ke dalam karung. "Mereka termasuk kecil dibandingkan dengan yang lain. Mereka juga tidak terlalu berbisa. Seekor saja tak dapat mengeluarkan racun yang mematikan. Tetapi kalau be- berapa ekor yang menggigit, mungkin ceritanya jadi lain." Frank menggigil memikirkan pengalamannya dengan ular-ular tersebut. "Apakah mereka hidup di daerah-daerah sini?" ia bertanya. Ahli itu menggeleng. "Tidak secara liar. Ular beludak pygmi hanya terdapat di daerah selatan: Florida, Carolina, Alabama, Georgia dan sebagai-nya." "Anda juga tak tahu di mana di sekitar Bayport sini ular ini dapat dibeli atau dicuri??" tanya Frank. Orang itu menggeleng lagi. "Aku malah sangsi sekali kalau kau dapat menemukannya di sini. Tentu ada orang yang mengimportnya." Setelah ular-ular dengan aman ada di karung, pemuda-pemuda detektif itu menyelidiki daerah di sekelilingnya, berharap dapat menemukan petunjuk-petunjuk lagi. "Mungkin inilah karung untuk membawa ular-ular itu," kata Joe beberapa saat kemudian. Ia datang di jalan halaman tempat yang lain-lain menunggu. Ia membawa sebuah karung kanvas yang besar. "Aku menemukan ini di tepi jalan sana, digantungkan pada cabang pohon." "Lihat, ada gambarnya!" seru kakaknya. Joe menghamparkan karung itu di atas kap mobil mereka. Pada karung itu dicap gambar yang kasar berupa ular yang melingkar. Di bawahnya ada tulisan: JANGAN INJAK AKU! "Apa maksudnya ini kira-kira?" seru Chet, memandangi gambar yang aneh itu. ™ Joe memutar-mutar bola matanya mendengar pertanyaan temannya. "Kalau engkau belajar sejarah untuk ujian tadi dengan baik, engkau tentu tahu maksudnya. Ini suatu lambang yang digunakan oleh kaum kolonis Amerika selama Perang Saudara." "Beberapa kelompok prajurit revolusioner menggunakan gambar ular beludak untuk panji-panji mereka," Frank menjelaskan. "Ular beludak tidak terdapat di Eropa, maka kaum kolonial yang mula-mula datang di Amerika menjadi tertarik, karena mereka membunyikan ekornya sebelum memagut. Di kemudian hari lalu menjadi lambang bagi ketiga belas koloni, seolah-olah hendak mengatakan: "Kami lebih senang dibiarkan sendiri, kalau anda tak menghiraukan peringatan kami untuk menjauh, kami akan menyerang dengan cepat dan tanpa ampun." "Waduh!" kata Chet. "Kaukira orang yang •menaruh ular di mobilmu juga hendak memberi-kan peringatan yang begitu?" "Rupanya begitu," jawab Frank. "Orang bertopi tiga sudut ini rupanya ingin berlaku sebagai kaum pemberontak sewaktu Revolusi Amerika." "Barangkali ia menganggap revolusi masih berlangsung," kata Chet melawak. "Dan ia mencuri dari kaum Tory." "He! Ada sesuatu di dalam karung!" seru Joe. Ia merasakan ada suatu benda kecil di sudut karung. Ia merogoh ke dalam dan mengeluarkan sebuah botol kecil. Botol itu kosong, tetapi masih mengeluarkan bau yang aneh dari bekas isinya. "Boleh aku mencium baunya?" ahli reptilia itu meminta. Joe mengulurkan botol itu kepadanya, dan orang itu mencium baunya. "Minyak ular," katanya sambil mengembalikan botol itu kepada Joe. "Minyak ular?" Ketiga pemuda itu bertanya, bersama-sama. "Memang. Tukang-tukang obat sering menjual sewaktu menjajakannya berkeliling. Katanya dapat menyembuhkan segala macam penyakit, dari bilur sampai sakit kepala. Sudah tentu sebenarnya tak ada nilai pengobatannya." "Tetapi itu sudah ketinggalan jaman beberapa tahun yang lalu," kata Frank. "Untuk apa sekarang orang memerlukannya?" "Masih ada yang menggunakan pada sirkus-sirkus, yaitu pemain yang sudah tua-tua," jawab Herpetolog. "Mereka mengira dapat membuat tubuhnya lebih lentuk, lebih seperti ular, jadi mereka dapat mempertontonkan kepandaian mereka lebih baik. Engkau mungkin dapat membelinya pada sirkus keliling, yang menjualnya sebagai barang suvenir." "Tak ada sirkus di sekitar sini," kata Frank. "Tidak, tetapi akan ada karnaval!" kata Joe. "Kita juga akan ke sana nanti malam. Bagaimana kalau kita cari kalau-kalau ada pawang ular? Barangkali kita dapat memperoleh petunjuk lagi." "Pikiran yang bagus," kata Frank. "Eh, tetapi sekarang kita harus pulang untuk main bola basket." Dalam gairah mereka, Joe dan Chet hampir saja lupa akan pertandingan bola basket sore itu. Mereka sudah harus sampai di sana untuk berganti seragam. Frank dan Joe termasuk anggota regu, dan Chet bermain drum dalam band sekolahnya, mengisi waktu-waktu antara permainan. Chet mengantarkan herpetolog itu kembali ke kebun binatang, sementara Frank dan Joe langsung menuju ke gedung olahraga sekolah mereka. Ketika mereka tiba, tempat duduk terbuka sudah mulai terisi penonton. Regu lawan Bayport, yaitu SMA Hopkinsville, sudah ada di lapangan untuk pemanasan. Suara mendengung penuh gairah memenuhi udara, menantikan pertandingan kejuaraan tersebut. "Di mana Peter?" tanya Joe khawatir. Ia melihat ke sekeliling mencari bintang lapangan tengah mereka yang tadi pagi juga tidak bersekolah. Frank menyapu lapangan dengan pandangannya, mencari temannya yang berkulit hitam dan jangkung itu. Tetapi Peter Walker tak ada di antara para pemain. "Ya, ampuuun!" ia mengeluh. Ia tahu, bahwa Peter jauh lebih baik daripada pemain-pemain regu mereka, yang menyebabkan regu SMA Bayport mampu sampai bermain di final. Setelah selesai melakukan pemanasan, para pemuda itu duduk kembali di bangku bersama yang lain. Semua merasa gelisah akibat tidak hadirnya Peter. Di antara penonton di tempat terbuka, terdapat keluarga Hardy dan pacar-pacar kedua pemuda, Callie Shaw dan Iola Morton. Gadis-gadis itu meniupkan ciuman mereka kepada Frank dan Joe, yang membalasnya dengan melambai. Sorak-sorai bergemuruh ketika para pemain meninggalkan bangku mereka dan mengambil tempat di lapangan. Frank harus bermain tengah menggantikan Peter yang belum juga datang. Wasit melemparkan bola ke atas, dan pertandingan dimulai! 3. Karnaval Frank melompat setinggi mungkin untuk meraih bola, tetapi pemain tengah lawan lebih tinggi jangkauannya hampir tiga puluh senti. Ia mengoperkan bola jauh ke depan, dan dalam beberapa detik saja Hopkinsville mendapat angka dua. Pada akhir babak pertama, angka skor membuat para pendukung Bayport menjadi khawatir dan diam. Namun tempat duduk di seberang penuh suara-suara sorakan dan tepuk-tangan. Bayport kalah dari Hopkinsville dengan angka dua puluh empat melawan enam belas! Frank, Joe dan pemain-pemain Bayport lainnya kembali ke bangku mereka dengan muram. Tanpa Peter, mereka bukan tandingan bagi Hopkinsville. Selama istirahat, para pemain band Bayport berbaris ke lapangan. Chet memimpin di depan, berpakaian seragam band berwarna merah, membawa drum besar dengan nama sekolah tertulis dengan huruf-huruf emas. Semangat Frank dan Joe agak terangkat melihat temannya dengan bangga memukul drumnya memberikan irama lagu sekolah mereka sambil berbaris di tempat. Setidak-tidaknya, pikir mereka, masih ada yang menikmati kejadian itu. Sementara band terus bermain, pelatih memberikan petunjuk-petunjuk. Ia mengatakan, tak perlu ada Peter untuk dapat menang, tetapi mereka harus bersemangat. Dengan memusatkan pertahanan, mereka dapat menahan angka tetap rendah dan juga membuat lawan menjadi lelah. Dengan demikian Hopkinsville dapat mulai membuat kesalahan-kesalahan yang menguntungkan Bayport. Dengan semangat yang baru, para pemuda bermain babak kedua. Siasat pelatih mereka nampak berhasil sebentar. Pada menit-menit pertama Hopkinsville tak dapat menambah angka, dan para pemain mulai menjadi lelah untuk dapat menerobos pertahanan Bayport. Tetapi tiba-tiba pelatih Hopkinsville menyadari apa yang telah terjadi dan memberikan strategi lain kepada para pemainnya. Regu Frank dan Joe berhasil menekan angka lawan selama babak kedua itu, namun mereka tetap tak berhasil memperkecil kekalahan. Pada akhir babak kedua, Hopkinsville memimpin dengan sepuluh angka, dan sekali lagi para pemain Bayport dengan muram menuju ke bangku mereka. Pada saat itulah Peter Walker berlari-lari datang dari kamar ganti pakaian, menuju ke teman-teman seregunya! Pemain-pemain Bayport berlompat-lompatan menyambut bintang mereka. "Maaf, aku terlambat," Peter meminta maaf dengan sungguh-sungguh. "Bagaimana kita?" "Kalah sepuluh angka," kata Joe kepadanya. "Dari mana saja kau?" "Akan kukatakan kepadamu nanti," jawab Peter. "Sekarang ini kita harus berusaha untuk menang!" Dengan Peter ikut bermain, regu Bayport dapat menguasai babak ketiga. Selisih angka semakin kecil, sementara bintang lapangan tengah dengan lincah mengelak dan mendribbel menerobos pertahanan Hopkinsville. Para pendukung regu Bayport berdiri dan melonjak-lonjak melihat permainan bintang mereka, dan sewaktu-waktu bersorak-sorak bila ia menyarangkan bola. Akhirnya Bayport memenangkan pertandingan dengan selisih angka enam. Sementara band memainkan lagu kemenangan, para pemain mengangkat Peter Walker keluar lapangan sebagai pahlawan. Mereka belum mau menurunkannya sebelum sampai di kamar ganti pakaian. "Sungguh gembira aku, kau bisa datang," kata Frank kepadanya. "Maafkan aku," pemuda itu meminta maaf lagi. "Tetapi aku menghadapi suatu kesulitan tadi pagi." Frank dan Joe memandanginya dengan rasa ingin tahu. "Kesulitan?" tanya Joe. "Kakekku seharusnya datang dengan pesawat dari New Orleans," Peter menjelaskan. "Aku pergi untuk menjemput di lapangan terbang sebelum ujian, tetapi ia tidak datang. Aku menelepon kakek, dan setelah tak mendapat jawaban, kuper-kirakan ia terlambat untuk pesawatnya, lalu menunggu penerbangan berikutnya. Karena itu aku lalu menunggu." "Dan ia tidak datang juga?" tanya Frank. Peter menggeleng. "Tidak. Aku mulai khawatir akan dia. Ia tak menjawab ketika kutelepon. Jadi ia tidak ada di rumah atau di kelabnya." "Ia mempunyai kelab?" tanya Frank. Rasa kekhawatiran di wajah Peter lenyap sejenak. "Ya. Kakek adalah seorang pemain trombon yang terkenal di New Orleans, salah seorang dari yang terbaik di sana," Suara pemuda itu mengalun dengan rasa bangga, menceritakan perihal kakeknya kepada Frank dan Joe. "Ia dikenal sebagai Stretch ... Stretch Walker ... dan ia mempunyai sebuah kelab di sana." "Kedengarannya kau adalah pengagum kakekmu," kata Joe. "O, tentu. Ia yang terbesar." Peter tersenyum sebelum wajahnya berawan lagi dengan rasa gelisah. "Aku sebenarnya menginginkan ia melihat aku bermain hari ini. Ia tentu akan senang melihat pertandingan ini. Aku sudah membual bagaimana bagusnya aku main, dan ini adalah kesempatan yang paling bagus ia dapat melihat aku bermain." "Engkau tak mau ke rumahku untuk makan malam?" Frank menawarkan. Ia mencoba menghibur temannya yang sedang bingung. "Kami hendak mengadakan semacam pesta kemenangan dengan keluarga, Chet dan gadis-gadis, dan tentu akan banyak makanan yang disediakan." "Terima kasih. Tetapi aku tidak dapat," jawab Peter dengan tersenyum tipis. "Aku ingin pulang, kalau ka au kakek menelepon." Dengan kata-kata itu, bintang bola basket itu selesai berganti pakaian dan pergi meninggalkan kamar ganti pakaian. "Ia nampak bingung sekali tentang kakeknya," kata Frank. Ia mengunci almari pakaiannya. "Aku ingin tahu, apakah masih ada yang belum dikatakannya kepadaku." "Aku juga mempunyai perasaan yang sama," Joe membenarkan. "Seharusnya ia tidak boleh mangkir pada ujiannya, begitu pula pertandingan ini. Kecuali kalau ia memang benar-benar terganggu. Tetapi aku juga dapat memahami kegelisahannya." Kedua pemuda itu bermobil ke rumah untuk menghadiri pesta kemenangan. Ketika mereka menghentikan mobil mereka di depan rumah, Callie Shaw dan Iola Morton berlari keluar untuk menyambut mereka dengan peluk dan cium. Callie, pacar Frank berambut pirang dan bermata coklat cemerlang. Iola, adik Chet Morton sangat mencintai Joe secara khusus, dan sifatnya yang lincah dan periang membuat dirinya menjadi tamu yang disenangi di rumah keluarga Hardy. Kedua gadis itu mengantarkan Frank dan Joe ke dalam, di mana Bu Hardy telah menyediakan makanan yang lezat bagi mereka semua. "Nah, bagaimana rasanya menjadi juara bola basket wilayah?" tanya ibu sambil tersenyum, setelah semua duduk untuk makan. "Tidak buruk," jawab Frank. "Aku tahu lebih dulu sejak semula." Bibi Gertrude mengangkat alisnya. "Tahu lebih dulu?" ia menantang. "Kalau Peter Walker tidak muncul, regu lawan yang akan tahu lebih dulu." "Ah, Gertie." Ibu tertawa, matanya yang cemerlang memancar ketika menghadapi iparnya. "Anak-anak Bayport menang, dan aku bangga karena kedua anakku menjadi anggota regu itu." Frank dan Joe tertawa kecil melihat perang kata antar kedua wanita. "Bibi Gertrude memang benar, tentu saja," Joe berkata, melirik kepada ayahnya yang pura-pura sibuk. "Ada apa ayah?" tanya Joe. "Sebenarnya aku tak ingin membicarakan pekerjaan, tetapi ketika kuteliti hal pencurian-pencurian itu aku menemukan dua hal," jawab Pak Hardy. "Satu, selama tahun yang terakhir ini terjadi pencurian-pencurian yang sama ragamnya. Dua, tak satu pun di antaranya terlihat si topi tiga sudut sebelumnya." "Ah, kalau Frank dan Joe yang menangani, pencuri atau pencuri-pencurinya tentu akan segera tertangkap," kata Challie. Setelah selesai makan, Frank, Joe dan kedua gadis bersiap-siap untuk pergi ke karnaval. Chet menyediakan diri menjadi sopir. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Bu Hardy atas jamuan yang lezat, muda-mudi itu berdesakan di mobil sport kuning, lalu mengambil jalan besar menuju ke pinggiran kota. Karnaval itu diselenggarakan di Meadows yang kini gemerlapan dengan cahaya dan penuh dengan orang-orang. Ketika para muda-mudi itu memasuki pelataran pesta, udara sudah penuh dengan suara musik dan bau gula harum-manis. "Aku lapar," kata Chet, menghirup dalam-dalam bau yang manis tersebut. "Engkau baru saja makan begitu banyak!" kata Iola tak percaya. "Aku tahu, tetapi aku sudah lapar lagi," Chet membantah. Frank tertawa atas selera makan temannya yang tak pernah terpuaskan. "Apakah kalian tak bermain-main dulu di sini?" ia mengajukan usul. "Joe dan aku perlu melakukan penyelidikan sedikit. Nanti kita bertemu lagi." Sementara Chet, Callie dan Iola pergi untuk mencoba mendapatkan hadiah-hadiah, Frank dan Joe berkeliling untuk mencari tempat pertunjukan ular. Setelah menanyai seorang penjaga kios, mereka menjadi tahu bahwa memang ada pawang ular yang bernama Gloria, yang kiosnya ada di sebelah rumah-setan. Gloria ternyata seorang wanita setengah baya yang mencari nafkah dengan dua ekor ular boa constrictor kecil. "Minyak ular?" jawabnya atas pertanyaan kedua pemuda. "Aku tak tahu siapa yang sekarang menggunakannya." "Apakah anda pernah melihat lambang ini?" tanya Joe sambil menunjukkan kantong kanvas yang bergambar ular beludak. Gloria memandanginya dengan penuh perhatian. "Tentu. Ini digunakan sewaktu Perang Revolusi, bukan?" "Ya. Tetapi apakah anda melihatnya akhir-akhir ini?" Joe mendesak. "Kalau kupikir-pikir, memang," kata Gloria setelah berpikir sejenak. "Ada seorang tua di Georgia yang pernah menawarkan ular beludak kepadaku. Ia benar-benar penggemar ular beludak, dan ingin agar aku mau membuktikan bahwa binatang-binatang itu ganas dan berbisa." Gloria memutar-mutar bola matanya. "Ia memang sin ting." "Georgia," bisik Frank kepada Joe. "Itulah tempat yang disebut oleh herpetolog asal terdapat-nya ular beludak pygmi." "Apakah orang ini membawa ular-ular belu dak?" ia bertanya kepada Gloria. "Banyak. Ditangkap di rawa-rawa dan disimpan dalam kandang, begitulah katanya kepadaku." "Tetapi apa hubungan dia dengan lambang ini?" tanya Joe. "Ia membawa ular-ular yang ditawarkan dalam karung semacam ini," jawab Gloria. "Sudah tentu kukatakan kepadanya agar dibuang saja. Aku tidak membutuhkan ular beludak!" "Ingatkah anda, di mana ia tinggal?" tanya Frank. "Kukira kotanya disebut Swamp Creek," jawab Gloria. "Tepat di pinggir Rawa Okefeno-kee. Orang-orang mengatakan bahwa ia cukup terkenal di daerah itu karena hobinya yang aneh itu." "Aku heran, apa kerjanya untuk dapat makan?" kata Frank. "Kudengar ia menjual barang-barang di pasar loak. Engkau tahu: piring-cangkir tua, kain-kain-an dan kadang-kadang perabotan rumah. Apa saja yang dapat dibelinya dengan murah, kukira." "Anda mempunyai alamatnya?" tanya Frank. "Tidak. Tetapi aku yakin orang-orang dapat mengatakan di mana ia tinggal. Tanya saja peng-gemar ular yang memakai topi tiga sudut." "Topi tiga sudut?" tanya Frank sambil menatap wanita itu. " "Begitulah. Sudah kukatakan, ia sinting." Setelah mengucapkan terima kasih, kedua pemuda itu pergi mencari teman-temannya. Mere- ka menghabiskan waktu sore itu dengan bersenang-senang di karnaval. Ketika akhirnya Frank dan Joe menghentikan mobil mereka di depan rumahnya, ibu mereka menyambut di depan pintu. "Kalian mendapat telepon yang penting," kata Ibu. Wajahnya menunjukkan perhatian. "Teleponlah nyonya Walker sekarang juga!" 4. Petunjuk Minyak Ular Kedua pemuda berlari ke telepon. Frank memutar nomornya lalu menunggu. "Halo?" jawab ibu Peter. Suaranya terdengar gugup. "Di sini Frank Hardy. Kami disuruh menelepon anda." "O, ya. Maaf, aku mengganggumu begini malam, tetapi ini mengenai Peter. Aku tidak tahu di mana dia! Ia tiba-tiba saja meninggalkan rumah setelah makan malam. Aku khawatir, ia menghadapi suatu kesulitan." "Apa alasan anda, mengira bahwa ia dalam kesulitan?" tanya Frank ragu-ragu. Ia tak merasa pasti, mengapa nyonya Walker merasa perlu untuk menelepon dirinya. "Ia sangat bingung tentang sesuatu ketika ia pergi," nyonya itu menjelaskan. "Ia tak mengatakan mau ke mana atau kapan ia mau pulang. Itu tidak biasa bagi Peter. Kulihat kalian berdua bercakap-cakap dengan dia setelah selesai main bola basket, jadi kukira ia mengatakan sesuatu kepada kalian." "Ia memang mengatakan sesuatu tentang kakeknya, yang seharusnya datang berkunjung hari ini," kata Frank. "Apakah anda kira ia bingung tentang hal itu?" "Kakeknya memang telah menelepon," kata nyonya yang gelisah itu. "Ia mengatakan tak sempat melakukan perjalanan. Aku tahu bahwa Peter tentu kecewa, tetapi tentu tidak sebegitu hebat hingga harus pergi dari rumah." "Maafkan kami," kata Frank. "Tetapi ia hanya mengatakan, bahwa ia akan tinggal di rumah untuk menunggu telepon dari kakeknya. Tetapi aku mempunyai dugaan, di mana ia kira-kira. Coba, akan kuselidiki." Frank meletakkan gagang telepon. "Ayo," katanya kepada adiknya. "Kita pergi ke gedung olahraga." Di perjalanan ke SMA Bayport, tempat mereka bermain bola basket sore tadi, Frank men- ceritakan percakapan telepon itu kepada Joe. Mereka tahu dari pengalaman yang sudah-sudah, bahwa Peter selalu berlatih pada waktu-waktu yang tertuang. Mungkin juga ia pergi ke sana kalau pikirannya sedang gelisah. "Nanti dulu," Joe menolak. "Gedung itu sudah tutup sekarang ini." "Kukira malam ini tidak," kata Frank. "Di kafetaria di sebelahnya ada malam dansa sekarang." Pemuda yang jangkung itu memang ada di sana, berlatih seorang diri di ruang olahraga yang kosong. "He, Peter!" seru Joe ketika mereka masuk dari pintu. Peter berhenti dan memutar tubuhnya untuk menghadapi teman-teman sekolahnya. "Untuk apa kalian kemari?" tanyanya kurang begitu ramah. "Ah, sudahlah, Peter!" Joe menghela napas mendengar suara temannya yang agak bermusuhan. "Ibumu khawatir tentang kau. Ia menelepon kami, berharap kami tahu di mana kau berada." "Nah, kalian telah menemukan aku." Bintang bola basket itu mengangkat bahu, sikapnya agak melunak. "Mengapa kau tak mau mengatakan kepada kami apa yang meresahkan hatimu?" kata Frank. Ia memungut bola lalu melemparkannya ke basket sambil melompat pendek. "Kami menduga, masih ada lagi yang belum kaukatakan kepada kami setelah pertandingan tadi." Saat hening sejenak menyusul, sementara Peter mempertimbangkan seberapa banyak ia dapat mempercayai teman-temannya. "Akan kutunjukkan sesuatu kepada kalian," katanya akhirnya. Ia memberi isyarat dengan tangannya dan mengajak mereka ke ruang ganti pakaian. Frank dan Joe mengikuti sampai di depan almarinya. Ia membukanya dan mengeluarkan sebuah dus tempat sepatu. "Aku menerima kiriman ini," katanya sambil membuka kardus itu. Di dalamnya terletak seekor burung mati! "Ini dikirimkan kepadaku dari New Orleans," Peter melanjutkan. "EH dalam paruh burung ada suratnya, berisi sembilan kali nama kakek!" "Rupanya seperti semacam guna-guna," kata Joe. "Voodoo," kata si Bintang Basket. "Aku telah memeriksanya. Dimaksudkan untuk menghasilkan daya guna-guna dengan tujuan mencelakai seorang musuh." Frank memandangi Peter dengan mata penuh pertanyaan. "Kakekmu tinggal di New Orleans. Jadi engkau mencurigai dia kalau kalau terlibat dalam hal ini?" "Begitulah." Pemuda itu mengangguk. "Ketika ia menelepon sore tadi, aku tak menyebutkan perihal burung ini, sebab aku tak ingin ia menjadi khawatir. Ia terdengar agak tegang, dan aku yakin bahwa ia menyembunyikan sesuatu kepadaku, sesuatu yang takut dikatakannya kepadaku." Wajah Peter menjadi keruh lagi ketika ia mengembalikan kardus berisi burung mati itu ke dalam almari. "Tolong, jangan sampai ibu tahu tentang hal ini," ia memohon. "Memikirkan bahwa kakek terlibat dalam semacam pemujaan voodoo dapat membuat ibu sangat gelisah. Karena itulah aku kemari. Aku terlalu bingung untuk tinggal di rumah dengan wajah yang menyembunyikan sesuatu dan tak dapat mengatakan apa-apa." Kalau Peter mau pulang ke rumah, Frank dan Joe setuju untuk menyimpan rahasia itu. Mereka lalu memadamkan lampu ruang olahraga dan naik ke mobil mereka, masing-masing. "Barangkali kita perlu pergi ke selatan," kata Joe setelah mereka sudah di jalan lagi. "Aku benar-benar ingin mengikuti petunjuk Gloria, yaitu si Pawang Ular. Orang tua yang dikatakannya kepada kita rupanya cocok dengan petunjuk-petunjuk kita. Kita juga dapat sekaligus mencek kakek Peter, mencoba mengetahui kalau kalau benar ada masalah voodoo." Frank melirik kepada adiknya. "Georgia cukup jauh dari New Orleans, Louisiana," katanya kepada Joe. "Kita sendiri begitu jauh dari kedua tempat itu. Bagaimana menurutmu kita bisa sampai ke sana?" Pemuda pirang itu meringkuk di tempat duduknya. "Aku tak tahu. Tetapi kalau kita tidak pergi, mungkin kita tak dapat sampai di dasar perkara ini!" Sampai di rumah, mereka menceritakan berita terakhir itu kepada ayah mereka. "Rupa-rupanya, orang tua yang diceritakan oleh pawang ular itu memang perlu diselidiki," kata Pak Hardy. "Mungkin dialah yang kalian lihat di toko McPhee, dan yang meletakkan ular-ular itu di mobil kalian." "Kenyataan bahwa ia berdagang di pasar loak juga cocok dengan gambaran kita," kata Frank. "Mungkin itulah caranya menjual barang-barang curiannya. Mungkin tidak banyak untungnya, tetapi kalau ia mendapatkan tukang tadah yang terpercaya, pasar loak bisa pula menjadi tempat melemparkan barang-barang curiannya." "Engkau tahu, apa yang meresahkanku?" tanya Joe. "Justru karena terlalu banyak petunjuk. Semuanya serba cocok, hingga aku merasa bahwa ada seseorang yang berusaha menjerumuskan kita ke jejak yang kosong. Petunjuk-petunjuk itu begitu saja datang sendiri!" ia menyimpulkan sambil menyeringai. "Bisa jadi," kata Pak Hardy. "Kalau memang itu masalahnya, kukira lebih baik kita ikuti saja dulu; kita tunggu, apa yang akan terjadi." "Apakah itu berarti, bahwa kami dapat pergi ke Swamp Creek untuk menyelidiki orang tua itu?" kata Frank dengan gairah. "Kukira itu akal yang bagus," jawab ayah mereka. "Kalian sanggup?" "Tentu saja sanggup!" seru kedua pemuda itu. "Aku akan segera menelepon lapangan terbang!" "Bagaimana kalau kita tanya Chet, barangkali dia mau ikut?" tanya Joe. "Mungkin ia bisa membantu." "Bagus," kata Frank, dan segera memutar nomor telepon Chet. Ternyata teman mereka telah menabung uang selama musim dingin untuk melakukan perjalanan semacam ini, dan ia sangat ingin menyertai kakak beradik itu untuk membongkar misteri. "Aku akan memesan tempat dan memberitahukan kau jam berapa kita harus berangkat," kata Frank, lalu meletakkan gagang teleponnya. Kemudian ia menelepon lapangan terbang. Ia ber- hasil mendapatkan tempat untuk penerbangan siang ke Savannah esok harinya. Ia lalu memberi-tahu Chet, hingga ia sudah siap bila mereka menjemput dia. "Sekarang kita berbicara kepada Peter," kata Frank. "Setelah menyelesaikan tugas di Swamp Creek, kita dapat mengunjungi kakeknya pula. Betul ayah?" "Mengapa tidak?" jawab Pak Hardy. Frank memutar nomor telepon rumah keluarga Walker. Temannya ternyata belum tidur dan menyambut. "Halo, Peter?" kata Frank. "Kami akan ke Georgia besok untuk menangani perkara. Kalau bisa selesai di sana, kita bisa pergi ke New Orleans." "Maksudmu, engkau hendak mengetahui apakah Kakek benar-benar terlibat masalah voodoo?" tanya Peter dengan gairah. "Barangkali," jawab Frank. "Kalau kita memang bisa, kami ingin tahu bagaimana cara menghubungi kakekmu." "Kelabnya bernama Stretch's," kata Peter. "Ia memberikan namanya sendiri. Tempatnya di Bourbon Street di jantung daerah jazz aliran Dixieland. Ia mempunyai kamar-kamar di atas dengan cadangan tempat tiduri Dengan mudah engkau dapat menginap di sana." "Terima kasih," kata Frank. "Kuharap engkau dapat ke sana," kata Peter. "Selain itu, kini sedang ada perayaan Mardi Gras di sana. Engkau tentu akan menikmatinya!" "Itu benar!" seru pemuda detektif itu, lalu tertawa. Ia teringat perayaan tahunan yang meru-bah seluruh kota menjadi satu pesta besar selama seminggu. "Aku selalu ingin mengunjungi Mardi Gras. Tetapi aku sangsi apakah punya cukup waktu untuk ikut berpesta, biarpun sudah sampai di sana." Ia menutup pembicaraan, kemudian bersama adiknya ia pergi ke atas untuk tidur. Esok harinya, Pak Hardy memberikan daftar dari barang-barang yang telah dicuri dari berbagai toko barang antik. Sesudah makan siang mereka menjemput Chet dan berangkat ke lapangan terbang. Pesawat hanya singgah sekali di Washington D.C, lalu melanjutkan penerbangan ke Savan-nah, sebuah kota tua yang indah, merupakan kota pelabuhan di Samudera Atlantik. Kota itu mendapat sebutan "Ratu Pantai Georgia" sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, ketika kota itu berkembang subur sebagai pusat perdagangan kapas daerah Selatan. "Rasanya seperti di abad lain," kata Chet sementara mereka berjalan kaki di jalan-jalan menuju ke stasiun bis. Frank tersenyum. "Seluruh perkara ini nampaknya seperti dari abad lain. Jadi kita ada di tempat yang benar." Mereka naik bis yang menuju ke selatan. Pada saat mereka turun di kota kecil yang disebut Swamp Creek, hari sudah mulai malam. Di sepanjang jalan utama terdapat beberapa toko dan motel, namun toko-toko sudah tutup dan tak ada seorang manusia pun yang nampak di sekitarnya. Lumut Spanyol yang panjang-panjang bergantungan dari pohon-pohon sipres di kiri-kanan jalan, memberikan suasana yang menakutkan. Dengan kopor di tangan, ketiga pemuda itu pergi ke sebuah motel untuk bermalam. Motel itu bernama Swamp Creek Inn, dan nama itu ditulis dengan lampu neon merah yang menyala di luar lobby. "Ada orang yang tinggal di sekitar sini?" tanya Chet kepada petugas. Ia merasa lega melihat wajah orang. "Nampaknya sangat sepi." Petugas yang mulai membotak, lebih gemuk daripada Chet, lambat menjawab para tamu. "Semua sedang di rumah dan makan malam," akhirnya ia berkata dengan lafal daerah selatan. "Kamarmu nomor enam belas, di ujung sana." Ia memberikan kunci kepada Chet. "Berbicara tentang makan malam," kata Frank. "Ada yang dapat dimakan di dekat-dekat sini?" Petugas itu menunjuk dengan ibu jarinya ke sebuah pintu di belakang lobby. "Restorannya buka," katanya. Setelah meletakkan kopor mereka, Chet mengajak mereka ke restoran. Ruangan itu penuh meja-kursi, tetapi tak ada orang. Dengan ragu-ragu, para pemuda itu berhenti di pintu, berpikir-pikir hendak duduk atau pergi. "Ada yang dapat saya bantu?" tanya seorang gadis berpakaian putih-putih. Wajahnya cantik dengan rambut coklat muda yang panjang dan mata biru yang besar. Chet menyukai lafalnya yang seperti berirama. "Buka untuk makan malam?" tanya Joe. "Buka," jawab gadis itu, kemudian menunjukkan kartu menu dan mempersilakan mereka duduk. "Kalian kemari untuk berburu?" ia bertanya setelah mereka duduk. "Berburu?" Frank memandang tak mengerti. "Berburu ular beludak," kata pelayan itu. "Mulainya besok." Menyadari bahwa para pemuda itu tak mengerti apa yang dikatakannya, gadis itu menjelas- kan bahwa esok hari adalah permulaan pemburuan ular beludak tahunan di Swamp Creek. Banyak orang berdatangan dari lain daerah untuk membantu menangkap ular. "Untuk apa mereka melakukan itu?" tanya Chet. "Wah, ini suatu kejadian besar," kata gadis itu dengan serius. "Setiap tahun kami menangkap ular setelah mereka keluar dari tidur musim dingin, atau hibernasi. Pada waktu ini mereka paling mudah ditangkap karena mereka semua berhi-bernasi di liang-liang. Dengan menangkapi mereka, kami dapat membuat jumlah mereka menjadi rendah." Gadis itu membentangkan tangannya ke seluruh ruangan. "Besok, tempat ini akan penuh orang-orang yang datang untuk berburu. Kukira kalian pemburu yang datang paling dulu." "Bukan, kami kemari untuk penyelidikan," kata Chet kepadanya, mencoba memberi kesan kepadanya. "Kami mempunyai tugas-tugas yang lebih penting daripada berburu." Mata gadis itu membelalak. "Kalian ini agen-agen FBI atau apa?" "Sebenarnya bukan," kata Frank sambil tertawa. "Tetapi kami memang mencari seseorang." Ia membuka tasnya dan mengeluarkan karung kanvas yang berlambang ular beludak. "Engkau pernah melihat seperti ini di sekitar sini?" ia ber- tanya kepada si gadis sambil menunjukkan karung tersebut. "Tentu," jawabnya. "Rattlesnake Clem yang menggunakan itu. Ini salah satu karungnya." "Coba ceritakan tentang dia," Joe mendesak. "Apakah dia yang kalian cari?" gadis itu bertanya dengan heran. "Barangkali," kata Frank. "Tahukah engkau di mana kami dapat menemui dia?" "Clem tinggal di Hull Street. Nama lengkapnya Clemson Marion. Tetapi ia jarang di rumah. Apa yang kalian kehendaki dari dia?" "Ah, kami hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya," kata Joe samar-samar. "Dapatkah kaukatakan bagaimana kami dapat menghubungi dia?" "Tunggu sebentar." Gadis itu bergegas keluar dan sesaat kemudian kembali lagi dengan petugas motel. Petugas itu menggaruk-garuk kepalanya ketika mendekati para pemuda. "Kemenakanku, Sadie, mengatakan kepadaku bahwa kalian mencari Rattlesnake Clem," katanya sambil menarik sebuah kursi. "Apa yang kalian inginkan dari dia?" "Kami memerlukan beberapa informasi dari dia," kata Frank terang-terangan. "Kami detek-tif-detektif pribadi." Petugas itu memandangi mereka sejenak lalu berkata: "Mungkin ia ikut berburu besok. Ia mempunyai rumah di Hull Street, tetapi ia tak pernah ada di sana. Ia biasanya datang pada perayaan ini untuk menimbulkan keonaran." Melihat air muka para pemuda menunjukkan pertanyaan, ia melanjutkan menjelaskan bahwa Clem adalah penyayang ular beludak. Ia menganggap perburuan di mana ribuan ular beludak terbunuh setiap tahun adalah jahat, dan perlu dicegah. Karena itu ia selalu mengganggu. "Ia sudah tua," petugas itu mengakhiri kata-katanya. "Jangan sampai membuat dia marah, kecuali kalau kalian inginkan seekor ular beludak memasuki baju kalian." Pelayan yang cantik bermata biru itu menghidangkan makanan panas berupa bistik, jagung dan lain-lain. Setelah mereka selesai makan, mereka mengucapkan terima kasih kepada pelayan dan pamannya untuk informasi yang mereka berikan, lalu pergi ke kamar mereka. Kamar itu hanya berisi dua tempat tidur, karena itu Joe mengalah tidur di dipan yang disediakan oleh petugas motel. "Aku pernah membaca tentang perburuan ular beludak," kata Frank setelah mereka merebahkan diri dan memadamkan lampu. "Pemburuan ini dilakukan sebenarnya bukan karena orang takut akan terlalu banyaknya ular beludak. Itu hanya untuk kedok untuk mengadakan perayaan, sehingga kota ini dapat memperoleh uang." "Akal yang bagus pula," kata Chet. "Motel dan rumah makan akan penuh dengan tamu yang membayar. Tempat ini memang membutuhkan uang." "Tetapi bersamaan dengan itu akan dikorbankan jiwa ular beludak," kata Joe dari dipannya. Percakapan berhenti ketika mereka mulai terayun ke alam mimpi, samar-samar memikirkan bagaimana mungkin seorang tua yang tinggal di dekat Rawa Okefenokee dapat terlibat dengan perampokan-perampokan. Mereka terbangun di pagi hari oleh suara-suara di jalan. Joe pergi ke jendela dan menyingkapkan gor-den-gordennya. "He, lihat itu!" serunya kepada Frank dan Chet. 5. Pemburuan Ular Jalan utama Swamp Creek yang semalam kosong, kini dibanjiri orang yang datang untuk ikut serta dalam perburuan. Banyak yang membawa karung dan tongkat. Di antara dua batang tiang telepon, sebuah spanduk berbunyi: SELAMAT DATANG PADA PESTA TAHUNAN PEMBURUAN ULAR BELUDAK DI SWAMP CREEK. "Mereka benar-benar sudah siap," kata Frank. Ia mengintip dari atas pundak Joe. "Yah, aku pun sudah siap pula," kata Joe. Ketiga pemuda berpakaian dan keluar di sinar matahari. Setelah cepat-cepat makan pagi, mereka segera berbaur di antara para pemburu ular yang sedang berkumpul di pusat kota. Sebuah panggung dipasang di depan toko. Beberapa orang berdiri di atasnya mengenakan topi rumput yang lebar yang dihiasi kulit ular beludak. "Mereka tentu yang memimpin," kata Joe ketika mereka menyeruak maju mendekati panggung. Pada saat itu seorang di antaranya mengumumkan, bahwa para pemburu akan dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok dengan seorang pemimpin. Setelah terbagi-bagi, Frank bertanya kepada salah seorang bertopi rumput, kelompok mana yang menuju ke rawa-rawa. "Kelompokku," katanya, dan melambai kepada ketiga pemuda untuk menggabungkan diri kepadanya. Orang itu bertubuh kecil-kuat dan bermata dalam. "Aku Billy," ia memperkenalkan diri kepada kelompoknya. "Berapa dari kalian yang pernah ikut berburu?" Kebanyakan tangan diacungkan, dan pemimpin kelompok itu nampak senang. "Nah, kukira aku tak perlu menjelaskan," katanya. "Bagi mereka yang belum pernah ikut, ikut saja dari belakang dan melihat. Kalian tentu akan segera bisa." "Aku memang akan ada di belakang," Chet menggumam kepada kedua temannya. "Jauh di belakang!" Dengan pemimpin kelompok paling depan, para pemburu ular itu berjalan di jalan utama. Pada saatnya mereka keluar dari jalan dan masuk ke dalam hutan yang membatasi rawa-rawa. "Inilah Okefenokee Swamp," kata Billy kepada para pengikutnya. Ia melambaikan tangannya ke arah semak-semak yang lebat, pohon-pohon sipres dan rawa-rawa berair di sebelah kirinya. "Ada kira-kira empat puluh jenis ular hidup di sini, mulai dari ular karang sampai ular air dan beludak. Hari ini yang kita cari ialah ular beludak jenis Eastern Diamondback." "Mengapa hanya Eastern Diamondback?" salah seorang bertanya. "Karena yang paling mudah ditangkap," kata Billy sambil mengedipkan mata. "Tetapi kalau ada yang mau menyelam menangkap ular air, tentu akan sangat dihargai." Orang yang kecil-kuat itu berhenti sejenak, untuk memastikan diri bahwa semua dapat menangkap leluconnya, kemudian ia melanjutkan membawa rombongan lebih jauh ke dalam hutan. Beberapa saat kemudian ia berhenti lagi. "Kukira ada liang yang penuh ular di sini," katanya sambil menunjuk ke sebuah bukit yang berbatu-batu. Mereka perlahan-lahan mendekati bukit. Pada mulanya nampak seperti tak ada ularnya. Tetapi setelah semakin dekat, tanda-tanda gerakan mulai nampak di antara batu-batu. Chet menahan napas. "Tempat ini benar-benar penuh dengan ular!" Beratus-ratus ular seperti memenuhi celah-celah dan liang-liang di tumpukan batu-batu. Jelas nampak bahwa mereka adalah Eastern Diamondback, karena pola-pola berbentuk intan nampak jelas di punggungnya. Mereka bergerak sangat lambat atau bahkan diam saja. Kebanyakan diam melingkar, berjemur diri setelah berhibernasi beberapa bulan. Para pemburu segera menangkapi ular tersebut dengan tongkat mereka yang bercabang ujungnya. Dengan menekan kepala ular dengan ujung tongkat yang bercabang, para pemburu dapat menangkap tengkuknya, lalu memasukkannya ke dalam karung. Para pemuda memandanginya dengan terpesona. Jelas kelihatan, bahwa kelompok itu menikmati perburuan tersebut, tetapi Frank, Joe dan Chet tidak ikut menangkap. Tiba-tiba, dari langit jatuh seekor ular besar, hanya beberapa sentimeter di depan kaki Joe. "He, ada apa ini?" ia berteriak sambil melompat mundur. Frank dan Chet juga mundur ketika beberapa ekor lagi berjatuhan di dekat mereka. "Mereka jatuh dari pohon-pohon!" seru seorang, sementara kepanikan terjadi di antara mereka. "Tentu ada orang yang melemparkan ular-ular itu!" Ketika Frank mengelak dari seekor ular lagi, semua orang mendongak dengan ketakutan, mencari-cari di pohon-pohon, dari mana ular-ular tersebut berjatuhan. "Ha-ha-ha-ha-ha-ha!" Suara tertawa tiba-tiba terdengar dari atas. "Kalian sungguh berani! Ha-a-ha-ha!" Tinggi di atas cabang sebuah pohon yang besar, duduk seorang tua yang mengenakan topi ber-sudut-tiga! Ia memegangi sebuah karung penuh dengan ular. Seekor demi seekor dilemparkannya ke rombongan yang terkejut. "Itu tentu Rattlesnake Clem!" teriak Chet. "Pakai topi tiga sudut segala," sambung Joe sambil mundur dari pohon. Raut muka orang tua itu nampak marah sekali sementara para pemburu di bawahnya memandang ke atas dengan ketakutan dan bergerak mundur. "Orang-orang konyol!" ia berseru dengan parau. "Kalau kulihat kalian datang kemari lagi untuk berburu, lemparanku tak akan salah lagi!" "Akan kuadukan agar kau ditangkap atas per-butanmu ini, Clem!" seru pemimpin kelompok dengan marah. "Ayo, adukan!" balas Rattlesnake Clem. Setelah berkata demikian, orang tua itu melepaskan karungnya, lalu memegangi tambang yang ia ikatkan pada cabang. Ujungnya yang lain diikatkan pada pohon lain, dan ia meluncur ke tanah beberapa meter jauhnya dari para pemburu. Kakak beradik Frank dan Joe tak mau berusaha mengejar dia ketika ia menghilang masuk ke rawa-rawa. Tetapi Joe memungut karungnya. "Kita tak mungkin dapat meringkusnya," ia menggerutu. "Ia hafal benar rawa-rawa ini, tetapi kita tidak. Kita hanya akan mendapat kesulitan saja." Frank. mengangguk. Tak lama kemudian, kelompok pemburu itu kembali ke Swamp Creek dan bubar. Setelah berhadapan dengan Clem, selera mereka sudah hilang. Frank, Joe dan Chet mengikuti Billy ke kantor polisi. Billy hendak mengajukan pengaduan terhadap Clem. Pak sheriff sedang duduk di belakang meja dan makan permen coklat. Ia berbahu bidang, tetapi agak terlalu gemuk di sekitar pinggangnya untuk dapat dikatakan baik kondisi tubuhnya. "Apa yang dapat kulakukan untukmu, Billy?" ia bertanya setelah selesai makan dan melemparkan bungkusnya ke keranjang. Pemimpin kelompok itu menjelaskan apa yang telah diperbuat oleh Clem. Senyuman tipis nampak di bibir sheriff. "Ah, jadi Clem main-main lagi," katanya. "Rupanya ia semakin sinting saja dengan lewatnya tahun demi tahun-" "Kata-kata itu terlalu enteng!" Billy menggeram. "Bisa-bisa ada orang yang digigit. Engkau harus mencari dia dan kurunglah dia!" "Aku akan menemui dia," kata sheriff dengan lebih bersungguh-sungguh. "Kau benar, ini harus dihentikan." Frank melangkah maju ke meja. "Kami juga ingin dapat menemui dia," katanya, lalu menjelaskan alasan mereka untuk menanyai Clem. Mendengar cerita Frank, wajah sheriff nampak terkejut. "Kaukira si tua Clem itu bertanggung jawab atas sederetan perampokan di lain-lain negara bagian?" tanya sheriff itu tak percaya. "Apakah anda tahu di mana dia dua-tiga minggu yang lalu?" Frank menangkis dengan bertanya. "Memang tidak," jawab orang yang berbahu bidang itu. "Tetapi si tua Clem! Ia hanya orang sinting yang mencoba melindungi binatang liar, meskipun kuakui, untuk itu ia menggunakan cara-cara yang aneh." Frank mengangkat bahu. "Aku tahu, ia tidak cocok untuk menjadi pencuri, tetapi terlalu banyak petunjuk-petunjuk yang tak dapat diabaikan." "Lihatlah ini," kata Joe sambil meletakkan dua helai karung kanvas ke atas meja. "Kita temukan salah satu dari karung ini di luar toko barang antik yang baru dirampok di Bayport. Yang satu dijatuhkan Clem sebelum ia turun dari pohon tadi pagi." Sheriff itu mengamati kedua helai karung yang bergambar persis sama: seekor ular beludak yang melingkar dan tulisan 'Jangan Injak Aku'. "Aku tahu maksudmu," katanya dengan berpikir. Kemudian ia menghela napas. "Kukira Clem akan ada di sekitar sini besok. Aku tak akan berbuat apa-apa sebelum kalian berhasil menemui dia. Cobalah di rumahnya pagi-pagi sekali. Pada waktu itu kalian tentu dapat menemui dia." Para pemuda itu mengucapkan terima kasih dan meninggalkan kantor polisi. Ketika mereka kembali ke pusat kota Swamp Creek, mereka melihat bahwa banyak di antara para pemburu telah selesai untuk hari itu. Sebuah lubang yang dipagari telah digali di tanah kosong di belakang toko, dan ratusan ekor ular menggeliat-geliat di dalamnya. "Aku ingin tahu, akan mereka apakan ular- ular itu," kata Chet. Ia menggigil ketika melihat ke dalam lubang. "Mungkin mereka akan membunuh sebagian besar ular-ular tersebut," kata Frank. "Beberapa ekor mungkin akan dibeli oleh kebun binatang atau penyayang ular. Yang lain-lain digunakan untuk percobaan ilmiah." Pada waktu itu ketiga pemuda sudah merasa lapar, dan mereka kembali ke motel untuk makan. Seperti yang telah dikatakan pelayan, ruang makan telah penuh dengan para pemburu ular. Di sana bahkan ada sebuah band yang menghibur. Para pemuda memilih tempat duduk dan mendengarkan musik. "Ini lebih menyenangkan," kata Chet, girang dapat duduk dan mendengarkan musik. "Sekarang apa yang kuingini hanya makan." "Halo Pemuda-pemuda," sambut Sadie ketika ia sampai di meja mereka. "Sudah siap untuk makan?" "Tentu." Chet tertawa kecil. "Aku lapar sekali. Apa yang khusus untuk hari ini?" "Kami hanya menghidangkan satu macam masakan hari ini." Sadie tertawa cekikikan. "Apa itu?" "Panggang ular beludak!" Senyum Chet menghilang dari wajahnya. "Hanya itu saja? Hanya panggang ular beludak?" "Ayolah, Chet," Joe memberi semangat. "Semua orang juga makan itu." Si gemuk melihat ke sekeliling, ke piring-piring langgganan yang lain. Ia setengah menduga akan melihat ular yang melingkar di piring dengan daun peterseli di tengah-tengahnya. Tetapi yang dilihatnya adalah potongan daging bulat yang nampaknya enak sekali dengan sausnya. Baunya pun enak! "Aku akan mencobanya," ia berkata akhirnya. "Tetapi aku tak berani berjanji akan menyukainya." Sadie menghidangkan sepiring untuk masing-masing. Chet menggerutu, tetapi Chet masih sempat menghabiskan piring kedua! "Mari kita kembali ke kamar," kata Frank, setelah selesai. "Aku ingin menelepon ayah." Dengan perut penuh ketiga pemuda berjalan ke Kamar 16. Chet membuka pintu dan langsung menjatuhkan diri di tempat tidur tanpa menyalakan lampu terlebih dulu. Demikian tubuhnya mengenai kasur, keheningan kamar dipecahkan oleh suara gemeretak yang keras. "Aduuuh!" teriak Chet kesakitan. Gigi taring Eastern Diamond back membenam ke kakinya! 6. Ancaman Bisa Joe menyalakan lampu. "Ia menggigitku!" seru Chet sambil melompat menjauhi ular yang sudah siap hendak menerkam lagi. "Keluar, cepat!" Frank memerintahkan. Si gemuk terpincang-pincang ke pintu, dan Frank serta Joe segera memapah dia keluar. Pada saat mereka sampai di lobby, kaki Chet sudah bengkak dan merasa sakit. "Kita harus segera membawa dia ke dokter," kata Joe kepada petugas motel. Orang itu memeriksa kaki Chet dan bersiul lirih. "Kelihatannya buruk," katanya. "Masuk- kan ke mobilku. Chevrolet biru yang ada di depan." Chet mengerang kesakitan, dipapah Frank dan Joe keluar. Beberapa detik kemudian petugas motel sampai di mobil dengan membawa beberapa barang di tangannya. Pelayan yang cantik tepat di belakangnya. "Engkau yang mengemudi," katanya sambil melemparkan kunci. Frank dan Joe duduk di depan, dan Sadie dengan pamannya membantu Chet di belakang. Petugas motel itu memberi petunjuk-petunjuk kepada Joe jurusan yang harus ditempuh untuk ke tempat dokter. Sementara itu ia memasang bilah dan mengikatkannya di atas luka, untuk mengurangi peredaran darah. Sadie memangku kepala Chet, menyeka dahinya yang panas karena demam dengan saputangannya. Setiba di tempat dokter, mereka mengangkat Chet dari mobil dan membawanya masuk. Dokter itu kurus, sudah mulai memutih rambutnya dan memakai kacamata. Bersama Frank dan Joe ia mengangkat Chet ke meja pemeriksaan. "Ini sakit?" ia bertanya kepada Chet, tangannya menekan lembut di tempat gigitan ular. "Adaaauuuw!" seru Chet. "Sakit sekali." "Bagus," kata dokter. "Kalau gigitannya parah malah tak ada rasa apa-apa." Ia memeriksa rasa geli Chet di sekitar mulut, penguningan pandangan serta tanda-tanda keparahan gigitan. Kemudian ia menyiapkan pembalut antiseptik dan menyuntik Chet dengan obat pelawan bisa. "Ia akan baik kembali dalam sehari-dua," kata dokter setelah selesai. Biasanya aku mendapat banyak pasien digigit ular selama perburuan ini, karena itu aku menyediakan banyak obat." Frank dan Joe menghela napas dengan lega. "Apakah ia akan baik?" kata Joe. "Biarkanlah ia beristirahat," jawab dokter. "Bengkaknya akan kempes besok pagi. Sejak sekarang hati-hatilah, dan jauhi binatang-binatang itu." Ketika mereka sampai di Swamp Creek Inn, petugas itu yang ternyata bernama Al, membantu kedua pemuda untuk menangkap ular di kamar mereka. Kemudian mereka mengangkat Chet masuk dan merebahkannya di tempat tidur. "Wahhh, berat amat engkau," Frank melucu setelah ia berbaring. "Yah, maafkanlah aku," jawab si gemuk marah, kini semangatnya sudah pulih dan dapat ikut bergurau. "Maafkan aku, tidak memeriksa dulu tempat tidur kalau kalau ada ular. Lain kali aku akan lebih hati-hati." Frank dan Joe tersenyum sebelum mereka melanjutkan percakapan yang lebih sungguh-sungguh. "Aku yakin, Clem tentu di belakang semua ini," kata Joe setelah duduk di ujung dipannya. "Nampaknya begitu," kata Frank dengan marah. "Kecuali kalau ular itu merayap sendiri lewat jendela." "Kalau Clem yang melakukannya, berarti ia bukan lagi hanya menakut-nakuti saja," Joe melanjutkan. "Ular diamondback itu jauh lebih mematikan gigitannya daripada ular-ular pygmi yang dimasukkan ke mobil kita dulu." "Mengapa kalian tidak ke polisi saja, dan minta agar dia dikurung?" seru Chet. "Orang itu telah mencoba membunuh aku!" "Sebab pada saat ini kita belum dapat membuktikan apa-apa," kata Joe. "Pertama-tama, aku akan menelepon ayah besok pagi," Frank memutuskan. "Mungkin ia telah mengungkapkan sesuatu semenjak kita tinggalkan." Demikian ia bangun esok paginya, ia segera memutar nomor telepon rumahnya. Bibi Gertrude yang menyambut. Setelah menceritakan kepada bibinya apa yang telah terjadi sekian jauh, ia minta berbicara dengan ayahnya. "Buruk benar bahwa engkau pergi untuk mempertaruhkan jiwamu," kata Bibi dengan tegas sebelum ia memberikan telepon kepada Pak Hardy. "Tetapi jangan membiarkan temanmu Chet menjadi korban permainanmu yang gila itu! Anak yang malang!" Frank hendak menjelaskan, tetapi bibinya sudah memberikan gagang telepon kepada ayahnya. Detektif terkenal itu mendengarkan dengan penuh perhatian,' gembira bahwa anak-anaknya telah berhasil melacak orang yang bertopi tiga sudut. Kemudian ia berkata: "Bahkan bahwa kenyataan Clem jarang sekali di rumah, sangatlah cocok dalam kerangka kita." "Semenjak keberangkatan kami, apakah masih ada lagi toko barang antik yang dirampok?" tanya Joe. "Tidak ada, artinya yang sesuai cara-cara kerja komplotan yang khusus ini," jawab pak Fenton Hardy. "Kalau demikian, bila kita dapat mengetahui bagaimana Clem melakukan segala perjalanannya, kita akan dapat memperkarakan dia. Begitukah, ayah?" "Benar," jawab ayahnya. "Aku akan menyelidiki di lapangan terbang Savannah, untuk mengetahui apakah ia sering terbang pulang-pergi akhir-akhir ini. Kalian menyelidiki lapangan-lapangan terbang pribadi, oke?" "Akan kami lakukan." Frank meletakkan gagang telepon dan memandangi adiknya. "Kita harus mencari tahu, apakah ada lapangan terbang pribadi di daerah ini," katanya. Wajah Joe yang menunjukkan rasa tak mengerti terganggu oleh ketukan di pintu. Ia membukanya dan mempersilakan pelayan itu masuk. Sadie membawa sebuah buku dan langsung menuju ke tempat Chet untuk melihat bagaimana keadaannya. "Kubawakan buku untukmu," kata si cantik bermata biru. Suaranya yang berirama lafal dae rah selatan terdengar gembira. "Mengenai ular. Kukira engkau ingin lebih banyak mengetahui tentang ular karena engkau telah digigit." Chet, yang kini telah tertarik oleh gadis tersebut, menerima buku tersebut dan berjanji akan membaca sampai tamat. Ia lalu mengerang dibuat-buat, berusaha menarik rasa iba atas keadaannya. "Sadie ..." Frank tertawa, menyela kelakar temannya. "Apakah di dekat-dekat sini ada lapangan terbang untuk pesawat-pesawat pribadi?" "Ada," jawab gadis itu dengan cerah. "Tepat di sebelah utara dari sini. Ada kaitannya dengan misterimu?" Frank mengatakan bahwa hal itu mungkin, lalu menanyakan apakah Sadie dapat mengantarkan dia ke sana. "Dengan senang hati," kata Sadie, bangga dapat ikut membantu dalam penyelidikan. Chet mengeluh, marah karena ditinggalkan teman-temannya sambil membawa serta gadis impiannya! Sebelum mereka berangkat, ia minta Sadie berjanji untuk memeriksa lukanya begitu ia pulang. Di lapangan terbang, berupa lapangan kecil beberapa kilometer di utara Swamp Creek, kedua detektif muda itu menanyai manajer tentang perjalanan Clemson Marion dengan pesawat di waktu-waktu yang terakhir. Ternyata tak ada sama sekali! "Ada orang yang pergi atau datang dari Bayport dalam beberapa hari yang terakhir ini?" Frank terus mendesak. "Bayport. Sebenarnya memang ada. Sebuah Cessna biru masuk dua hari yang lalu. Sekarang masih ada di sini. Pilot mendaftarkan diri sebagai Roger Mann. Dia juga masuk kemari minggu yang lalu, tetapi langsung pulang ke Bayport hari itu juga." "Bagaimana rupanya?" tanya Frank. "Tidak tahu. Ia memakai kacamata hitam dan topi, seperti tidak ingin ada orang yang mengenalinya." Joe membunyikan jari-jarinya, "aku yakin tentu Clem." "Apakah nampak tua?" Frank melanjutkan, meragukan kesimpulan Joe yang tergesa-gesa. Manajer itu menggeleng, dan harapan Joe untuk segera memperkarakan Clem gugur. Sebab Clem sudah berumur enam puluhan! "Nanti dulu," kata manajer, melihat kekecewaan pemuda itu. "Pilotnya memang belum tua, tetapi ia membawa penumpang yang belum pernah kulihat, kecuali dari kejauhan. Mungkin ia sudah tua, orang yang kalian cari." "Apakah dia juga menyembunyikan identitasnya?" tanya Frank. "Barangkali." Manajer itu mengangkat bahu. "Aku tidak tahu apakah ia sengaja menjauhi aku, tetapi bagaimana pun aku tidak sempat melihat dia." "Aku ingin melihat isi pesawat itu," kata Joe. "Aku tidak dapat memberi izin," kata manajer kepadanya. "Engkau harus mendapat izin dari pilotnya, tetapi ia tidak mengatakan di mana ia tinggal. Maaf." Frank dan Joe minta agar ia menghubungi mereka di Swamp Creek Inn kalau pilot Cessna dan penumpangnya muncul lagi. Kemudian ia kembali ke motel bersama Sadie dan melihat di daftar kalau kalau terdapat nama Roger Mann. Ternyata tidak terdaftar. Demikian pula tak se- orang pun penduduk kota yang mereka tanyai mengetahui dia. "Kalau ia terlibat dalam perkara kita, mungkin ia menggunakan nama lain," kata Frank sementara mereka menuju ke kamar mereka. "Dengan sedemikian banyak orang luar yang datang ikut berburu, sangat sulit untuk mengenali dia." Di kamar motel, Frank menelepon ayahnya lagi. Ayahnya mengabarkan bahwa Clem tak pernah menggunakan pesawat terbang untuk keluar-masuk Savannah selama tahun yang lalu. Frank ganti melapor tentang pesawat Cessna biru dan Roger Mann, dan menyebutkan nomor izin terbang pesawat tersebut. Pak Hardy berjanji akan menyuruh Sam Radley, pembantunya, untuk menyelidikinya. "Sambil lalu," kata pak Hardy sebelum meletakkan gagang teleponnya, "Temanmu Peter Walker menelepon. Ia ingin tahu apakah engkau akan pergi ke New Orleans." "Kami memang merencanakan ke sana, ayah, tetapi kami tak dapat menjanjikan apakah kami bisa pergi. Pertama-tama kami harus dapat sampai ke dasar misteri yang ada di sini." "Itu betul. Nah, selamat bekerja!" Frank meletakkan gagang telepon dan meng- alihkan perhatiannya ke temannya, Chet. "Bagaimana keadaanmu, sobat?" "Aku sedang membaca buku yang diberikan Sadie," kata Chet. "Di sini ada bab mengenai voodoo. Voodoo!" Chet mengulanginya dengan nada yang menyeramkan. "Mendengar namanya saja aku sudah gemetar!" 7. Upacara yang Menakutkan "Apa kata buku itu tentang voodoo?" tanya Frank kepada Chet. "Dikatakan, bahwa voodoo adalah semacam ilmu hitam, berasal dari pemujaan ular di Afrika," jawab temannya sambil duduk di tempat tidurnya. "Sekarang voodoo hanya dilakukan di Haiti, di mana ular-ular dapat tinggal di rumah-rumah penduduk." "Haiti," kata Frank lirih. Ia teringat pulau di Karibia yang terletak di sebelah selatan Florida, tepat di sebelah timur Cuba. "Bukankah mereka berbicara sebuah dialek Perancis yang disebut Creole?" Mata Joe bersinar ketika ia menyadari bahwa kakaknya telah mengerti. "Benar!" ia menjawab. "Dialek Creole juga digunakan di New Orleans. Jadi mungkin voodoo juga dilakukan pula di sana!" "Jadi kecurigaan Peter rupanya memang beralasan," kata Frank. "Mungkin kakeknya benar-benar terlibat dalam pemujaan voodoo!" "Kukira, kita harus selalu menjauhi tempat di mana pun yang orang-orangnya terlibat ilmu hitam!" Chet menyatakan. "Kalian tahu apa yang mereka lakukan kalau mereka hendak menyingkirkan kalian? Mereka mencuri sebagian pakaian kalian, dibuatnya semacam boneka yang dianggap mewakili kalian, lalu menusuknya dengan jarum. Kalian lalu menjadi sakit dan mati!" "Ah, sudahlah, Chet. Engkau sendiri tak percaya akan hal itu, bukan?" Joe menggoda. "Dari apa yang kubaca, hal itu telah berhasil bagi orang-orang Haiti selama beberapa abad," Chet menggumam. "Paling tidak, mereka mengira demikian. Itu sudah cukup bagiku!" "Nanti dulu," kata Frank sambil tersenyum. "Kukira kau telah membiarkan khayalanmu ter-bang sendiri. Kita hadapi saja dulu satu jenis pemujaan ular, dan mengunjungi si tua Clem." Kaki Chet yang bengkak sudah hampir pulih seperti semula, tetapi masih harus menunggu satu hari lagi untuk dapat berjalan. Frank dan Joe meninggalkan dia di tempat tidurnya dan berjalan kaki menuju ke Hull Street, yang ternyata terletak di ujung lain dari kota. Mereka bertanya kepada orang yang sedang lewat di mana rumah Clem, dan ditunjukkan ke sebuah rumah kecil, hampir tersembunyi oleh pohon-pohonan. "Kuharap saja ia tak berkeberatan kita bertamu," kata Frank, ketika mereka menerobos semak-semak ke halaman depan. Halaman itu penuh dengan sampah. Di samping garasi terdapat sebuah bajak tua karatan, sebuah bak mandi berkaki dan sebuah tungku tua untuk kayu. Barang-barang itu telah disemprot dengan plamir. "Kukira ia sedang memperbaikinya untuk dijual sebagai barang antik," kata Joe sambil menunjuk ke tungku. Frank mengangguk. "Apa yang hendak kulihat di sini ialah adanya tanda-tanda kehidupan," ia menggerutu. "Nah, kita coba pintunya." Bel tak dapat berbunyi, karena itu mereka lalu mengetuk. Mereka mendengar suara gemerisik di dalam, tak ada orang yang keluar. Frank mengetuk berulang kali. Setelah beberapa menit mereka mendengar langkah kaki, dan suara yang galak membentak: "Siapa itu?" "Frank dan Joe Hardy," jawab Frank. "Kami ingin berbicara dengan anda untuk beberapa menit saja." "Mengenai apa?" "Tentang ular beludak." "O, baik. Aku segera datang," kata Clem dengan suara yang menjadi lebih ramah. "Persoalan kesayangannya segera mengubah sikapnya," bisik Joe. "Ingin tahu aku..." Pintu terbuka dan orang yang telah tua itu ke luar, berpakaian overall dan switer. Senyum yang ada di wajahnya segera buyar demikian ia melihat kedua pemuda. "Apa yang kau kehendaki?" ia bertanya setengah menggerutu. "Kami datang dari Bayport, dan kami ingin tahu apa yang anda lakukan di sana dua hari yang lalu," kata Frank. "Di toko barang antik McPhee," sambung Joe. Orang yang sudah beruban itu tak menjawab, tetapi nampak benar-benar tak mengerti. Kemudian ia melirik kepada kedua pemuda itu. "Eh, kalian hendak berbicara tentang ular beludak, ya? Nah, masuklah. Akan kuperlihatkan kepada kalian." Ia menunjukkan jalan masuk ke rumahnya yang berperabotan sederhana, terus ke halaman belakang. Di dalam gudang kayu kasar terdapat kira-kira selusin kandang yang berisi berbagai jenis ular beludak, termasuk jenis diamondback dan pygmi. "Inilah binatang-binatang kesayanganku," kata Clem. "Mereka dapat mengatakan kepadaku apakah orang itu jujur atau tidak." Senyuman licik muncul di bibirnya dan ia membuka salah satu kandang, lalu mengeluarkan dua ekor ular diamondback yang besar-besar. Ia memberikannya seekor kepada masing-masing. "Nah, bermain-mainlah sedikit dengan mereka!" katanya sambil tertawa. "Silakan, peganglah!" Dengan perasaan kurang enak kedua pemuda itu menangkap ular itu seperti yang mereka lihat pada para pemburu, yaitu di tengkuknya. Tetapi perasaan tidak setuju terbayang di wajah pak tua Clem. "Jangan begitu!" ia membetulkan. "Seperti ini!" Ia memegang ular yang lain dari kandang pada tubuhnya, mengelus-elusnya, lalu diangkat di atas kepalanya. Kemudian lalu dikembalikannya ke kandang. Frank dan Joe saling melempar pandangan, kemudian memperlakukan ular masing-masing seperti Clem. Mereka sadar, itulah kesempatan mereka untuk dapat berbicara dengan orang tua itu. "Ular kecil yang manis," Joe berdendang. "Aku memang selalu ingin menyayangi seekor. Nah, bagus. Ular manis..." "Oke," kata Clem, nampaknya puas. "Sekarang boleh berikan lagi kepadaku." Ia menerima kedua ular itu dan memasukkan kembali ke kandangnya. Frank dengan diam-diam menyeka keringat dari dahinya. "Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap?" "Mari masuk ke rumah." Clem mengajak mereka masuk dan memberikan kursi kepada mereka di dapur. "Kukira si Raja yang menyuruh kalian kemari," katanya ketika mereka telah duduk. "Rupanya aku salah." "Siapa Raja itu?" tanya Frank. "Lho, ya Raja George ke-III," kata Clem dengan mata berbinar. "Raja Inggris, musuh bebuyutanku." Dengan kata-kata itu, ia mengambil topi bersudut-tiga dari cantelan dan memakainya di kepala. "Coba, akan kuceritakan kepada kalian tentang dia." Duduk di dapurnya sendiri, Rattlesnake Clem sungguh berbeda dengan apa yang mereka lihat sebelumnya. Sifat curiganya hilang dari wajahnya, dan pandangan matanya menerawang jauh ketika ia memulai ceritanya. "Ketahuilah," katanya, "aku adalah cucu keturunan empat dari Francis Marion yang besar, lebih dikenal sebagai si Rubah Rawa-rawa. Karena itulah aku memakai topi ini." "Dan lambang Perang Revolusi di karungmu itu juga?" tanya Joe. Clem mengangguk. "Betul. Kakek moyangku itu biasa berkemah di rawa-rawa bersama pasukannya. Di siang hari ia bersembunyi, dan pada malam hari ia menyerang pos-pos penjagaan Inggris. Karena itulah ia dinamakan si Rubah Rawa-rawa." "Dan engkau meniru jejaknya, meskipun Perang Revolusi sudah berakhir lebih dari dua ratus tahun yang lalu," kata Frank dengan sedikit menantang. "Tetapi perang belum selesai!" kata orang tua itu. Frank dan Joe saling berpandangan, menyadari bahwa Clem memang sinting atau berusaha keras agar nampak gila. "Perang belum selesai, sebab Raja George ke III dari Inggris masih hidup," Clem melanjutkan dengan mata yang bersinar. "Ia ada di luar sana memungut pajak atas tanah jajahannya. Tugas- kulah untuk menghentikan pemungutan pajak itu!" Kakak beradik itu tahu bahwa ketika Perang Revolusi Amerika pecah, George ke III adalah raja Inggris. Banyak kaum pendatang masa lalu yang membenci raja itu karena memungut cukai yang tinggi atas barang-barang mereka. Justru cukai itulah yang menjadi penyebab Revolusi. Tetapi itu sudah lebih dari dua abad yang lalu! "Apa yang menyebabkan kau percaya bahwa raja itu masih hidup?" tanya Frank. "Aku telah melihat dia!" jawab Clem setengah berteriak. "Ia keluar dari rawa-rawa untuk memungut cukai. Ia belum mati, itu aku pasti! Ia hanya bersembunyi selama bertahun-tahun ini." Mengetahui bahwa mereka tak akan sampai ke mana-mana dengan cerita raja Inggris yang telah lama meninggal itu, Frank lalu menanyai dia tentang perampokan di Bayport, serta ular beludak yang diletakkan di tempat tidur Chet. "Aku belum pernah mendengar tentang Bay-port-mu itu!" kata pak tua itu dengan panas. "Bagaimana aku dapat mencuri? Aku tak tahu bagaimana sekarung ular-ularku bisa sampai di sana, dan aku tak dapat mengatakan siapa yang memakai topi tiga-sudut itu. Hanya yang jelas bukan aku!" "Dengarkanlah," kata Joe sambil berdiri dan mengepalkan kedua tangannya. "Kami sudah hampir tak sabar untuk membawamu ke kantor polisi sekarang juga. Karena itu janganlah berbelit-belit." Clem juga berdiri, perasaan marah melintas di wajahnya. "Dengar, Nak! Jangan coba-coba mengancam aku! Sudah kukatakan aku tak pernah ke Bayport! Dan aku bukan pendusta!" Setelah mengucapkan itu, Clem duduk kembali. "Aku mengaku, bahwa aku yang meletakkan ular itu di ranjangmu," katanya agak lebih tenang. "Aku mendengar kalian datang kemari dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang aku, maka aku hendak sedikit menakuti kalian. Maafkan tentang temanmu itu, tetapi aku tak mengira bahwa ia begitu saja berbaring di atas ular itu." "Kau meletakkan ular itu di ranjang Chet karena kaudengar kami mencarimu?" tanya Frank tak percaya. "Kukira kalian agen-agen Raja," Clem menjelaskan. "Ia tahu bahwa aku mencarinya, dan ia hendak mendahului menangkapku. Karena itulah aku menyuruh kalian memegang ular. Kalau kalian memang agen-agen raja, tentu sudah kuning-pucat melakukannya." Menyadari bahwa mereka tak dapat memperoleh apa-apa dari si Rubah Rawa-rawa masa kini itu, kedua pemuda itu mengucapkan salam dan berangkat. "Ia telah terlalu banyak menghirup gas-gas rawa, atau ia berpura-pura gila pada kita," kata Joe sambil mengangkat bahu sementara mereka berjalan kaki menuju ke kota. "Dongengan Raja George itu adalah yang paling gila yang pernah kudengar." "Kita hanya tinggal menggali informasi dari pilot pesawat itu, Roger Mann." Frank menghela napas. Setengah jam kemudian, mereka telah tiba kembali di jalan utama Swamp Creek. "He, lihat!" seru Frank setelah mereka sampai di dekat motel. "Itu mobil pak sheriff!" 8. Tersesat di Rawa Sebuah mobil polisi bertanda sheriff wilayah diparkir di depart motel. Kedua pemuda itu mempercepat langkah mereka, khawatir bahwa Chet menjadi korban serangan lagi. Mereka membuka pintu dan merasa lega ketika melihat Chet sedang duduk di tempat tidur, rupa-rupanya tak apa-apa. Sheriff berdiri di dekat jendela yang hancur pecah. Pecahan kaca berhamburan di lantai. "He, anak-anak muda," katanya. "Temanmu ini menelepon ketika hal ini terjadi. Ada orang yang melemparkan batu di jendelamu. Ada surat yang terikat padanya." Sheriff mengulurkan secarik kertas yang kisut-kisut kepada Frank dan Joe. Kertas itu bergambar ular beludak yang sedang melingkar dengan tulisan 'Jangan Injak Aku' di atasnya ... Sedang di bawahnya tertulis: TEMUI AKU DI RAWA PADA SAAT MATAHARI TERBENAM. MINTA RICK DOUGLAS UNTUK MEMBAWA KALIAN KE SANA. CLEM. "Nanti dulu," kata Frank. "Kita baru saja bersama Clem pagi ini. Tak mungkin ia melemparkan batu ini di sini." "Barangkali ia mendahului kalian tiba di sini," kata pak sheriff. "Ini baru terjadi kurang dari lima menit yang lalu." "Siapa itu Rick Douglas?" tanya Joe. "Ricky mengoperasikan sebuah perahu berbaling-baling atas," kata pak sheriff kepada mereka. "Ia sebaya dengan kalian. Hafal sekali daerah Rawa Okefenokee. Ia menyewakan perahunya bagi wisatawan." "Di mana kami dapat menemui dia?" tanya Frank. "Ambil saja jalan yang kau gunakan ke rumah Clem, tetapi teruskan kira-kira setengah kilome- 85 ter, lalu membelok ke kiri ke rawa-rawa. Ada tanda-tandanya." "Aku sudah melihat papan-papan nama itu di sana," kata Joe. Ia ingat akan beberapa papan nama yang menunjukkan jalan ke tempat wisata Rawa Okefenokee. "Mari kita berangkat." "Beritahukan apa yang kalian temukan," kata sheriff. "Katakan kepada Clem, ia harus membayar jendela yang pecah ini. Katakan pula bahwa aku juga ingin berbicara dengannya." Kedua pemuda detektif itu keluar dari kamar dan berjalan ke rumah Clem. Kemudian mereka mengikuti petunjuk jalan yang menuju ke tempat wisata, dan akhirnya tiba pada sebuah dermaga di pinggir rawa-rawa. Tertambat pada dermaga ada sebuah perahu-udara yang panjang dengan baling-baling yang sangat besar di bagian atas belakang. Baling-baling itu digunakan untuk menjalankan perahu itu melalui air yang sangat dangkal, yang bagi perahu bermesin tempel tidak mungkin dilalui. "Kalian anak-anak Hardy?" tanya seorang pemuda ramping yang keluar dari pondok di samping dermaga. "Ya, dan engkau tentu Rick," Frank menyahut. "Kami mendapat surat dari Clem. Katanya engkau akan membawa aku kepadanya." Rick mengangguk. "Ia ingin bertemu kalian - untuk sesuatu urusan. Nampaknya seperti sangat penting. Aku diminta membawa kalian ke sana." Frank dan Joe naik ke bagian penumpang di depan, sedangkan Rick duduk jauh di belakang di mana ia dapat mengemudikan perahunya. "Berapa jauh kita harus pergi?" tanya Frank mengatasi deru baling-baling sementara mereka melepaskan diri dari dermaga. "Cukup jauh," pemuda itu berteriak kembali. "Rawa Okefenokee ini luas sekali." Dari Sadie, kedua pemuda itu sudah mengetahui sedikit-sedikit perihal rawa-rawa tersebut. Rawa-rawa itu merupakan sebuah taman nasional seluas 100 kilometer persegi di bagian tenggara negara bagian Georgia dan bagian utara Florida. Sungai Suwannee mengalir di tengah-tengahnya, tetapi bagian lainnya hampir seluruhnya tanah berawa-rawa. Kebanyakan dihuni oleh ular, bu-, rung dan buaya. Sambil menyisir permukaan air, Rick menjalankan perahunya melalui paya-paya dan kubangan-kubangan. Perahu itu bahkan meluncur di atas lumpur dan gosong-gosong pasir dengan mudahnya, seperti sebuah mobil yang meluncur di jalan yang halus. "Di sinilah," kata Rick akhirnya sambil menghentikan perahunya ke sebuah gundukan tanah yang berpohon-pohon. "Clem hendak menemui kalian di sebuah pondok di balik pohon-pohonan itu. Aku akan menunggu kalian di sini." "Terima kasih," kata Frank, dan kedua pemuda itu turun. Mereka masuk ke kerimbunan pohon-pohon, berharap sampai di pondok. Tetapi tak ada tanda-tanda hadirnya manusia di mana pun! "He, tak ada apa-apa di sini," kata Joe sambil melihat ke sekelilingnya. "Rick tentu telah salah." Pada saat itu juga mereka mendengar suara mesin perahu dihidupkan. "Ia hendak pergi!" seru Joe dengan takut, dan mereka lari di antara pohon-pohon menuju ke arah perahu. Semangat mereka runtuh ketika mereka melihat perahu itu menghilang ke rawa-rawa, suaranya menderu-deru di atas air. Rupa-rupanya, semua telah diatur untuk menurunkan mereka di tengah rawa-rawa dan meninggalkan mereka di sana! "Bangsat kecil!" seru Joe dengan marah. "Tunggu kalau aku sudah kembali! Aku akan membuat anak dan perahu itu menjadi setumpuk sampah!" "Masalahnya," kata Frank dengan putus asa, "bagaimana kita dapat kembali? Kita tentu telah sepuluh kilometer masuk di rawa-rawa!" Matahari sudah hampir sampai di garis ufuk. Dalam beberapa menit lagi hari akan menjadi gelap. "Lebih baik kita bersiap-siap untuk menginap," Joe menyimpulkan sambil memandangi matahari terbenam. "Kita tentu akan dapat keluar dari sini, tetapi tidak tanpa cahaya." "Aku tak mau berdebat denganmu," Frank menggerutu. "Aku tak merasa tertarik untuk berenang bersama buaya-buaya di kegelapan." Malam tiba dengan dinginnya. Untunglah mereka mempunyai korek api, dan dapat membangun tabunan dengan ranting-ranting yang dapat mereka kumpulkan. Mereka duduk meringkuk di dekatnya untuk menghangatkan tubuh mereka. Frank akhirnya terlena, dininabobokkan oleh suara-suara berkeretaknya api dan angin di malam itu. Joe menambahkan kayu pada api hampir sepanjang malam, hingga akhirnya juga terlena, dan api kecil itu akhirnya menjadi setumpuk abu dan bara berpijar. Tiba-tiba suatu suara membuat ia tersentak bangun. Pandangan Joe menegang takut sambil memusatkan pendengarannya, tidak yakin apakah suara itu benar-benar ada atau hanya bagian dari mimpi. "Grrrrr!" Menyadari bahwa suara mengaum itu bukan hanya nyata, tetapi juga semakin dekat, Joe menangkap lengan kakaknya. "Bangun!" "Ada apa?" tanya Frank kembali terjaga. "Aku tak tahu," bisik Joe. "Dengarlah!" Suara kemeresak terdengar dari dalam semak-semak, dan nampaknya bergerak mengitari mereka. Sekali lagi terdengar suara menggeram tak begitu keras di kegelapan. "Macan," Frank menyimpulkan. Ia memungut sebatang kayu bakar dan mengaduk-aduk di tumpukan abu. "Grrrrr!" kucing raksasa itu mengaum, ketika bara api di bawah abu mulai bepercikan. "Ia semakin dekat!" bisik Joe dengan serak. Pada saat itu, sepasang mata menyala-nyala nampak di antara semak-semak. Pada saat itu pula Frank mencungkilkan kayunya pada bara menghamburkan awan abu dan bara. Kali ini sambil mengaum ketakutan binatang buas itu melarikan diri ke dalam semak-semak. "Syukur ... ia telah lari!" Frank menghembuskan napas dengan lega. Joe mengangguk. "Rupanya ia juga lapar seperti aku!" Mereka segera membesarkan api secepat-cepatnya agar tetap dapat menyala sepanjang malam. Pada waktu subuh, mereka keluar untuk memeriksa di mana macan itu dapat menyeberang ke 'pulau' mereka. "Ini dia!" seru Joe, menunjuk ke tempat yang sangat dangkal, yang menghubungkan pulau mereka dengan sebuah tanah darat yang lebih luas. Frank dan Joe menyeberangi air yang dangkal itu menuju ke darat di seberang. Air tak pernah sampai ke lutut, dan dasar tanah lempung cukup keras untuk mendukung tubuh mereka. "Tahan," Joe memerintah ketika mereka sudah dekat dengan daratan. "Kedua makhluk itu nampaknya juga kurang ramah." Frank memandang ke arah yang ditunjuk Joe. Setengah tersembul ke permukaan, dua ekor buaya sedang berjemur di matahari yang baru saja timbul. Hanya kepala dan punggung yang nampak di atas permukaan. Pada saat itu, salah satu melepaskan diri dari pinggir dan dengan perlahan-lahan berenang ke arah kedua pemuda. Kedua pemuda itu berhenti dengan diam. "Pernah bergelut dengan seekor buaya?" Frank melucu gugup. "Kalau ia mendekat lagi, kita akan habis!" Joe menyahut. Namun buaya itu tak memperhatikan kedua tamunya dan membelok ke tempat yang lebih dalam. Dengan hati-hati Frank dan Joe meneruskan jalan ke darat, memutar lebar mengitari buaya yang seekor lagi. Daratan itu ternyata juga berpaya-paya, dan mereka sering harus berjalan di dalam lumpur sebatas lutut sebelum sampai ke tanah yang lebih tinggi dan kering. "Kita menuju ke barat," kata Joe, melihat dari letak matahari. "Swamp Creek tentunya ada di sebelah utara." "Aku tahu," kata Frank. "Kuharap saja tanah ini cukup lebar sampai ke Sungai Suwannee, yang mengalir melintas utara-selatan. Jadi kita dapat mengikutinya sampai ke arah kota." Kakak beradik itu meneruskan perjalanan mereka ke barat, tetapi semak-semak yang lebat membuat perjalanan mereka lambat. Pada saat mereka sampai di tepi sungai, pakaian mereka sudah hampir menjadi compang-camping terkena duri-duri. Joe memandang menerawang ke utara, mengikuti aliran sungai yang lambat berkelok-kelok. "Sungguh enak kalau mempunyai perahu," katanya dengan lelah. "Yahhh, sayang kita tak punya," kata Frank dengan mengangkat bahunya. "Barangkali masih lima kilo ke tepi rawa-rawa, dan dua atau tiga kilo lagi sampai di Swamp Creek. Kita masih mampu sampai di sana." Pemuda yang pirang itu mengeluh. Mengikuti aliran sungai ke arah utara ternyata lebih daripada tadi ketika mencapainya. Banyak di antara daerah-daerahnya berpaya-paya. Mereka bahkan sering harus berenang melintasi air yang dalam, selalu waspada akan buaya, ular air dan lain-lain binatang air. Pada saat mereka baru mencapai satu-dua kilometer, sudah hampir seluruh tubuh mereka berlumur lumpur dan basah. "Aku perlu beristirahat dulu," kata Joe akhirnya dengan mendesak. Ia memang agak kurang tidurnya daripada kakaknya. Kakaknya yang berambut hitam menyetujui, dan mereka duduk pada sebatang kayu yang tumbang di pinggir sungai. "Kok lebih berat daripada yang kuperkira-kan," Frank mengakui. Ia melihat seekor ular 'water moccasin' dengan tenang masuk ke dalam air untuk mencari makan. "He, lihat itu!" Joe berseru tiba-tiba, tangannya menunjuk jauh ke sungai. "Ada perahu!" Kedua pemuda melompat bangun dan mengintai ke selatan. Di kejauhan, sebuah perahu bermotor ukuran sedang, sedang mendatangi. "Aku memang tak mau melepaskan harapan," kata Frank sambil menyeringai, "tetapi inilah yang kudoakan." Kedua pemuda cepat-cepat meniti ke ujung batang pohon yang menggantung di atas permukaan air sungai. Setelah perahu bermotor itu semakin dekat, mereka melambai-lambaikan tangan dan berseru-seru minta dibawa. Perahu itu ditumpangi oleh sepasang orang tua, keduanya memakai topi jerami dan baju berwarna cerah. Melihat kedua pemuda yang compang-camping berlumur lumpur, mereka menjadi ragu-ragu. Frank dan Joe menunggu dengan khawatir ketika suami-isteri itu saling mempercakapkan, apakah mereka hendak membawa atau meninggalkan kedua pemuda itu. Beberapa saat kemudian kedua pemuda itu menghela napas lega, ketika si kakek menepikan perahunya. "Bagaimana kalian anak-anak muda sampai terdampar di sini?" tanya si nyonya dengan lafal selatan yang berat, sementara kedua pemuda itu memanjat naik ke perahu. "Kami kira, ini hasil pikiran orang yang hendak membadut," kata Frank dengan muram. "Kelihatannya tidak terlalu lucu bagiku," kata yang laki-laki dengan nada heran. "Sambil lalu," ia meneruskan, "Namaku Walter. Ini isteriku, Peg." Frank mengulurkan tangan kepadanya untuk menjabatnya. "Iiiihh!" seru nyonya tua, memandangi lengan Frank. Dengan terkejut Frank memandangi lengannya, dan melihat beberapa ekor lintah yang hitam dan panjang melekat di sana! Kedua pemuda dengan nekad membuka baju dan celana panjangnya, melihat lebih banyak lagi binatang penghisap darah itu di kaki dan punggung mereka. Mereka terlalu lelah dan berlumur lumpur untuk mengetahuinya lebih dulu. Setelah dengan bantuan garam yang kebetulan dibawa oleh suami isteri itu mereka berhasil melepaskan lintah, kedua pemuda itu memakai lagi pakaian mereka. Peg membuat roti berisi bagi mereka, sementara perahu itu melanjutkan perjalanan menuju ke hulu. Kedua orang tua itu dengan terpesona mendengarkan cerita kedua pemuda. Pak Walter dan nyonya Peg menambatkan perahu mereka di dekat kota Swamp Creek, lalu pergi ke motel untuk mengambilkan pakaian bagi kedua pemuda. Ketika mereka kembali, Chet ikut serta- "Nah, ini yang kusebut keramah-tamahan daerah selatan!" seru Joe setelah berganti pa- kaian. "Kalau ada sesuatu yang dapat kami lakukan bagi anda sekalian, katakan..." "Ah, jangan pikiran itu," kata si nyonya dengan lafalnya yang berat. "Aku hanya berharap kalian dapat melakukan yang sama kalau-kalau kami juga terdampar di daerah utara!" Kedua pemuda itu sekali lagi mengucapkan terima kasih, kemudian bersama Chet mencari operator perahu baling-baling yang telah menyebabkan mereka mengalami kesulitan. Perahu itu tertambat di dermaga ketika mereka tiba di sana. "Nah, kini kita menghadapi jenis lain dari keramah-tamahan daerah selatan," kata Joe dengan marah, dan menendang pintu pondok hingga terbuka. Ketika Rick melihat mereka, mulutnya ternganga. "A - a - ba-bagaimana - kalian sampai di sini?" ia menggagap, ketakutan memperkirakan apa yang akan mereka perbuat terhadap dirinya. Joe menangkap bajunya dan menekan dia pada dinding. "Berikan jawaban yang benar, kalau tidak kuserahkan kau kepada sheriff," ia berkata dengan hati panas. "Di-dia yang menyuruh aku!" pemuda itu meratap. "Lihat itu suratnya. Di sana itu." Frank memungut secarik kertas dari atas meja. Seperti yang mereka terima melajui jendela di motel, kertas itu juga bertanda lambang Perang Revolusi dengan gambar ular melingkar. Surat itu memerintahkan Rick agar membawa Frank dan Joe jauh ke dalam rawa-rawa, dan meninggalkannya di sana sebagai umpan ular dan buaya. Kalau Rick tidak mau melaksanakannya, si Rubah Rawa akan segera memukul tanpa pemberitahuan lebih dulu. Surat itu ditanda-tangani oleh 'Rattlesnake Clem'. "Lepaskan dia," kata Frank kepada adiknya setelah membaca surat itu. "Clem-lah yang harus dipenjarakan." "Sudah," kata Chet. "Pak sheriff yang menangkapnya kemarin malam." "Atas tuduhan apa?" tanya Joe dengan heran. Chet tertawa kecil. "Perampokan di Bayport!" 9. Pencarian dari Udara "Bawa kami ke kantor sheriff," perintah Frank kepada operator perahu. "Paling sedikit, itulah yang dapat kaulakukan untuk membalas tindakanmu meninggalkan kami di rawa-rawa." Mobil Chevrolet Rick yang tua diparkir di belakang gudang. Mereka naik dan segera berangkat menuju ke kota, ke kantor polisi wilayah. Tiba di sana, mereka melihat Clem dikurung dalam salah satu sel. Penghuni rawa-rawa yang telah beruban itu bagaikan binatang liar di dalam kandang, melangkah mondar-mandir dari ujung ke ujung. "Aku tak mencuri apa-apa!" ia menggerung, menatap marah kepada sheriff, lalu kepada kedua pemuda. "Engkau juga tidak mengancam Rick untuk membawa kami ke rawa-rawa?" tanya Joe dengan tajam. Clem memegangi jeruji sel. "Sudah tentu tidak. Tentu Raja George yang melakukannya! Ia yang mengatur segala-galanya!" "Engkau hendak mengatakan, bahwa Raja George ke III dari Inggris yang merampok toko barang antik di Bayport?" tanya Frank. Sekarang ia sangat mencurigai kesintingan orang itu. "Sudah kukatakan kepadamu, Raja George masih saja memungut cukai dari jajahannya!" Clem terus saja berteriak-teriak. "Sebaliknya, daripada memungut cukai ia malah merampok." Sheriff menggeleng-gelengkan kepala mendengar ia meracau, lalu memberi isyarat kepada para pemuda untuk kembali ke kantornya. "Hanya demikian yang dapat kuperoleh dari Clem," ia menjelaskan. "Tetapi bukti petunjuk sudah jelas. Aku telah menemukan barang-barang ini tadi pagi di garasinya." Pada sebuah meja di sudut kantor terdapat satu set barang perak dan tiga helai lukisan. "Chet menelepon aku tadi malam ketika kalian tidak juga pulang," sheriff itu melanjutkan sambil duduk, lalu membuka sebungkus coklat. "Aku lalu menuju ke rawa-rawa bersama beberapa deputy, mencoba untuk menemukan kalian. Nah, aku memang tak menemukan kalian, tetapi aku tanpa disengaja menemukan barang-barang berharga ini ketika aku pergi ke rumah Clem dan menggeledah garasinya." "Apakah ini barang-barang yang dicuri dari Durby McPhee?" tanya Joe. "Mula-mula kukira milik Clem," jawab sheriff. "Tetapi kemudian aku menyadari bahwa barang-barang ini lebih berharga dari barang-barang yang biasa ia perdagangkan. Aku teringat cerita kalian tentang pencurian di Bayport, maka aku lalu menelepon polisi Bayport dan mencocokkannya dengan mereka. Betul saja, itulah barang-barang yang telah dicuri dari toko McPhee. Karena itulah aku menangkap Clem." Pak sheriff yang merasa puas atas kerjanya yang bagus, tersenyum sambil memasukkan potongan coklat yang terakhir ke dalam mulutnya. "Eh, omong-omong, apa yang terjadi dengan kalian tadi malam?" Frank dan Joe menceritakan kepadanya, bagaimana mereka ditinggal di rawa-rawa oleh pemilik perahu, dan harus menemukan jalan kembali ke kota atas bantuan suami-isteri yang tua. "Kalian masih untung dapat ditemukan." Sheriff itu tersenyum. "Kalau tidak kalian masih harus menginap semalam lagi di sana." "Bagaimana pendapat anda tentang cerita Clem tentang Raja itu?" kata Frank untuk mengalihkan persoalan. Wajah sheriff nampak berpikir. "Rupa-rupanya Clem berpendapat bahwa Revolusi Amerika masih terus berlangsung. Namanya yang benar ialah Clemson Marion, keturunan seseorang yang bernama Francis Marion, lebih dikenal sebagai si Rubah Rawa. Selama Perang Revolusi..." "Clem sudah menceritakan semua itu kepada kami," Joe memotong. "Apa yang tidak kami ketahui ialah mengapa Clem percaya bahwa Raja George masih hidup dan memungut cukai dari jajahan-jajahan di Amerika." "Aku juga memikirkan hal itu," kata sheriff itu sambil mengedipkan mata. "Ketika kami temukan harta ini di garasi, kami juga menemukan baju merah dan beberapa potong pakaian lagi yang rupanya mirip bagian-bagian pakaian kebesaran bangsawan Inggris abad delapan belas. Memang, aku bukan psikolog, tetapi bagiku nampaknya seperti suatu kasus kepribadian ganda." "Apakah anda hendak mengatakan bahwa Clem melakukan peranan baik sebagai si Rubah Rawa dan Raja George sekaligus?" tanya Joe. Sheriff mengangguk. "Orang tua itu sudah lepas dari relnya. Kukira, suatu hari ia berpakaian sebagai si Rubah Rawa dengan topi tiga-sudutnya, lain hari ia muncul sebagai Raja George, musuhnya, dan berkeliaran. Permainan yang sinting yang dia lakukan itu, memerankan orang baik dan orang buruk. Dengan demikian ia melestarikan Revolusi Amerika di benaknya." "Waduhh!" seru Chet. "Kalau begitu masalahnya, ia memang benar-benar gila. Dan anda menduga bahwa semua pencurian itu dilakukannya oleh pribadinya sebagai si Rubah Rawa?" Pak Sheriff mengangguk. "Itulah dugaanku. Ia mencuri toko-toko barang antik karena ia percaya bahwa itu semua milik kaum Tory yang kaya, para pendukung pihak Inggeris sewaktu Revolusi. Kemudian, sebagai Raja George, ia menganggap barang-barang curian itu sebagai cukai yang dia pungut dari daerah jajahan." "Itu sebuah teori yang menarik," kata Frank agak sangsi. "Yahhh," sambung pak sheriff. "Orang-orang di sekitar sini telah mengatakan melihat hantu Raja George. Ia muncul pada larut malam di dekat tepi rawa-rawa. Lima atau enam orang berani bersumpah telah melihatnya beberapa hari yang lalu." "Anda yakin bahwa itu bukan akibat gas-gas rawa yang dikombinasikan dengan khayalan orang?" tanya Joe. Ia tahu, bahwa gas-gas metan yang menguap dari air rawa sering menyebabkan orang mengira melihat hantu. "Itulah yang kukira mula-mula," jawab pak sheriff sambil meletakkan kedua kakinya ke atas meja. "Tetapi kemudian beberapa orang yang patut dipercaya bersikeras telah melihat hantu Raja itu dengan jelas. Itulah yang menyebabkan aku percaya, bahwa Clem yang mengaku musuh bebuyutan Raja, mungkin sekali sedang berpakaian sebagai Raja itu sendiri." j "Tetapi mengapa ia harus memilih beberapa tempat yang sangat berlainan untuk mencuri?" Frank mengajukan penalarannya. "Di samping itu, yang ini hanya merupakan sebagian yang sangat kecil dari apa yang telah dicuri. Apakah hanya ini yang anda temukan?" "Ya," jawab sheriff yang buncit itu. "Yang lain tentu disembunyikan di lain tempat. Aku hanya berharap, bahwa Clem tidak terlalu sinting untuk dapat mengatakan, telah diapakan saja barang-barang itu semuanya. Kalau tidak, aku dapat berbulan-bulan mencarinya di luar sana." Para pemuda itu meminta izin lagi untuk dapat berbicara dengan Clem. Sebab mereka belum yakin bahwa ia memang benar-benar perampok di Bayport, atau bahwa ia benar-benar menderita gangguan jiwa berupa kepribadian yang ganda. "Pak Clem, katakanlah satu hal saja," kata Frank. "Kapan dan di mana engkau melihat Raja itu untuk pertama kali?" "Tahun lalu, pada perayaan Mardi Gras pada hari Selasa Lemak-lemak," jawab Clem. "Kemudian aku membuntutinya ke tempat pesta. Banyak orang yang berpesta pada hari Selasa Lemak-lemak, kalau kalian mau tahu." "Pesta apa?" "Pesta di mana ia membagi-bagikan barang-barang rampasan sebagai pajak!" seru orang tua itu. "Di mana pesta itu?" Orang tua itu mengangkat bahu. "Di sebuah rumah yang indah di luar kota." "Engkau tahu jalan-jalannya ke sana?" Clem menggeleng. "Sudah kukatakan, aku hanya membuntutinya. Hanya itu yang kuketahui." "Bagaimana dengan barang perak dan lukisan-lukisan yang ditemukan pak sheriff di rumahmu?" "Bukan di rumahku! Ia menemukannya di garasiku, yang selalu terbuka biarpun aku ada di rumah atau tidak. Ada orang yang meletakkannya di sana, dan itu bukan aku! Aku tidak mencurinya. Kukatakan kepadamu, aku tidak mencuri!" Akhirnya para pemuda itu meninggalkan kan- tor polisi, tidak yakin harus mempercayai teori pak sheriff atau tidak. "Menurut aku memang masuk akal," kata Chet. "Clem telah membuktikan bahwa dia memang sinting. Dan mereka telah menemukan barang curian itu di mana ia tinggal. Memang, ia mengatakan kepada kita tentang Raja George dan bagaimana ia melihatnya di pesta Mardi Gras. Lalu ia membuntutinya ke tempat pesta. Itu semua benar-benar seperti telah dikarang." "Aku tahu," kata Frank sambil naik ke mobil Rick. "Tetapi, ada sesuatu yang tidak sreg bagiku dalam keseluruhannya. Apakah engkau juga telah melihat Raja itu, Rick?" Pemuda itu mengangguk sambil menghidupkan mesin mobilnya. "Aku melihatnya beberapa malam yang lalu ketika aku sedang membetulkan mesin perahuku. Ada orang yang merayap dari balik semak-semak, masuk ke rawa-rawa. Ia memakai rambut palsu yang dibedaki, baju merah seperti yang ditemukan Pak Sheriff. Terlalu gelap, dan ia terlalu jauh untuk dapat kulihat dengan jelas. Tetapi yang pasti bukan hantu." "Lalu apa menurutmu?" "Si tua sinting itu, pak Clem, tentu saja. Orang itu memang sinting; dan secara jujur, aku takut padanya." Alis mata Frank bertemu karena berpikir keras. "Apakah mungkin menyewa sebuah pesawat di lapangan terbang setempat?" ia bertanya. "Kukira bisa," jawab pemuda itu. "Untuk apa?" "Aku ingin menuruti firasatku. Aku tahu, bahwa ini kedengaran sinting. Tetapi mungkin sekali cerita Clem itu tidak terlalu jauh dari kenyataannya seperti yang kita duga." Joe membunyikan jari-jarinya. "Aku tahu apa yang kaumaksudkan. Kalau ada orang lain yang bertopeng sebagai Raja George, mungkin sekali ia mempunyai persembunyian di rawa-rawa." "Itulah," Frank membenarkan. "Jalan yang paling mudah untuk mengetahuinya ialah dari udara." Rick mengangkat bahu. "Kukira kalian hanya akan membuang-buang waktu saja. Tetapi aku bersedia membawa kalian ke sana." Setelah memutar mobilnya, Rick membawa mobilnya menjauhi kota menuju ke lapangan terbang pribadi tersebut. Setiba di sana, Frank dan Joe menyiapkan segala masalah untuk menyewa sebuah pesawat kecil bermesin tunggal pada siang menjelang sore. Kedua pemuda itu adalah pilot yang trampil dan memiliki izin terbang yang sah. "Apakah sudah ada berita dari Roger Mann?" tanya Joe kepada manajer lapangan terbang. Ia melihat pesawat Cessna biru itu masih diparkir di dekat hanggar. "Belum," jawab manajer. "Aku akan menelepon kalian di motel kalau ia datang." Beberapa menit kemudian Frank dan Joe sudah mengudara dengan pesawat sewaan. Karena hanya bertempat duduk dua, tak dapat memuat Chet dan Rick. Mereka berdua lalu kembali ke kota untuk makan di restoran motel. Bagaimana pun Chet merasa lebih senang ditinggal, karena ia merasa lapar dan ingin bertemu dengan Sadie. Dilihat dari atas, rawa Okefenokee nampak bagaikan daun-daun dan air yang membentang tanpa tepi. Joe yang mengemudikan, terbang rendah di atas tanah dan memutar-mutar membentuk pola yang dapat melingkupi seluruh daerah itu dalam satu jam. Frank mengamati daerah itu dengan teliti, mencari-cari pondok yang tersembunyi atau perahu. "Itu dia tempat kita ditemukan," katanya ketika mereka melintasi Sungai Suwannee. "Kita memang di tempat yang jauh dari mana-mana!" Joe menyeringai. "Ya, aku gembira sekarang berada di atas sini, tak dapat lagi dijangkau oleh buaya. Engkau melihat tanda-tanda kehidupan di sana?" "Tak ada apa-apa," jawab kakaknya. Setelah mencari-cari dengan teliti selama dua jam tanpa ada tanda-tanda berhasil, mereka terbang kembali ke lapangan terbang dengan kecewa. "Hapuskan saja gagasan ini," kata Joe ketika mereka sudah mendekati landasan. "Kukira kita..." "Heee, awas!" seru Frank tiba-tiba dengan ketakutan. Pesawat Cessna biru itu sedang menggelinding di landasan, baru saja keluar dari tempat parkirnya. Landasan terhalang bagi pesawat mereka untuk mendarat! Suara pengawas menara terdengar di radio, memerintahkan Cessna untuk membebaskan landasan. Tetapi pilot Cessna tak menanggapi. Sebaliknya, ia malah bersiap-siap untuk tinggal landas! Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net 10. Kalap "Pegangan erat-erat!" seru Joe. Ia menambah gas dan menarik tongkat kemudi. Dengan satu gerakan yang cepat, ia mengayunkan pesawat kecil itu menghindar dari bahaya. Pesawat Cessna itu meluncur tinggal landas di bawah mereka, langsung mengayun ke barat demikian terlepas dari landasan. "Gila!" teriak Frank. "Bisa-bisa dia membunuh kita!" "Kita kejar saja!" kata Joe dengan marah. "Tak ada gunanya. Cessna itu terlalu cepat bagi kita." "Kukira kau benar," Joe menggerutu. Ia menukik mengitari lapangan dan membawa pesawat sewaan itu merendah untuk mendarat. Setelah sampai di darat, mereka langsung ke kantor manajer. "Aku tidak memberikan izin untuk tinggal landas!" manajer yang merangkap pengawas penerbangan itu mempertahankan diri. "Apakah anda mengatakan kepada dia bahwa kami ingin bertemu dengannya?" tanya Frank. "Itulah yang membuat ia kalap!" seru manajer itu. "Orang itu seperti harus pergi dari sini sebelum kalian mendarat, dengan atau tanpa izin!" Frank bersiul. "Cocok! Apakah anda dapat melihat wajahnya dengan jelas? Juga penumpangnya, kali ini?" "Roger Mann masih saja memakai kacamata. Apa yang dapat kukatakan hanyalah, bahwa ia sedang saja tingginya, agak kurus dan rambutnya hitam agak keriting. Penumpangnya, seperti biasa, tetap tak mau menampakkan diri. Aku hanya melihatnya dari jauh ketika ia naik ke pesawat. Ia agak jangkung sedikit." "Ke mana jurusan Cessna itu?" tanya Frank. "Rencana penerbangan menyebutkan Carlotte, North Carolina. Tetapi kukira ia berdusta. Ia berangkat ke jurusan yang sebaliknya." Manajer itu berhenti sebentar, lalu melanjutkan. "Aku mendengar Mann mengatakan 'New Orleans' kepada penumpangnya sebelum mereka naik. Barangkali ke sanalah mereka terbang." Frank dan Joe mengucapkan terima kasih dan berjalan ke luar. Tak lama kemudian Chet dan Rick datang menjemput. "Melihat sesuatu dari atas sana?" tanya Chet. "Tidak. Tetapi kukira kita menemukan sesuatu yang lebih penting," kata Frank. Ia lalu menjelaskan bagaimana Cessna bermotor dua itu hampir saja mencelakakan mereka, dalam usaha orang-orang itu untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan mereka. "Clem tidak mungkin menumpang di pesawat itu," kata Chet. "Ia ada di penjara." Frank berpikir keras ketika mereka berangkat dari lapangan terbang. "Aku heran, mengapa begitu banyak petunjuk-petunjuk yang mengarahkan Clem sebagai perampok, tetapi rupanya ia tak mungkin menjadi pelakunya," katanya. Ia melihat dari jendela ke pemandangan yang dilewati. "Sekarang aku mulai berpendapat, bahwa ada orang yang menjebaknya dengan fitnahan." "Maksudmu, ada orang yang mengatur segalanya sedemikian, hingga kita mengejar tempat kosong dengan memburu Clem?"tanya Chet. "Mungkin saja," jawab Frank. "Mungkin ada orang yang menggunakan lambang ular beludak itu agar pikiran kita terarah kepada Clem. Bahkan surat yang kita terima agar kita menemui Clem di rawa-rawa, mungkin juga palsu." "Sedangkan orang yang sebenarnya melakukannya mungkin Roger Mann atau penumpangnya," sambung Joe. Pemilik perahu itu menurunkan mereka di Swamp Creek Inn. Mereka lalu menghubungi Sam Radley di Bayport untuk mengetahui apakah ia telah mengungkap petunjuk bukti atas Roger Mann. Tetapi apa yang dikatakan oleh Sam hanyalah, bahwa pesawat Cessna biru adalah milik pilot tersebut. Frank dan Joe lalu menelepon ayah mereka, yang bersedia untuk membiayai perjalanan mereka ke New Orleans, agar mereka dapat melacak Roger Mann dan Cessna birunya. "Tanyakanlah dulu di lapangan terbang sebelum kalian berangkat, untuk dapat mengetahui dengan pasti bahwa ia memang terbang ke sana," sambung Pak Hardy. "Benar. Kalau ia memang ke sana, kami pun sambil lalu dapat mengunjungi kakek Peter. Barangkali kami dapat membantu dia dalam perkara voodoo ini," kata Frank. Ternyata, Cessna biru itu memang telah mendarat di New Orleans. Kedua pemuda itu segera mengemasi bawaan mereka dan membayar motel. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Sadie, dan Chet menulis alamatnya, berjanji akan mengirim surat kepadanya setelah misteri terungkap. "Dan berjanjilah, jangan campuri lagi urusan ular beludak." Gadis cantik itu tertawa dan melambaikan tangannya. Hari sudah malam ketika ketiga pemuda itu tiba di lapangan terbang New Orleans. Mereka sudah lelah karena perjalanan naik bis ke Savan-nah, dan dari sana baru terbang ke New Orleans. Jalan-jalan di kota pelabuhan daerah selatan penuh dengan ribuan manusia yang datang untuk menghadiri perayaan tahunan Mardi Gras. Banyak yang berpakaian berwarna-warni, dan semua penuh gairah musim semi. Mereka berbondong-bondong di jalan-jalan dan bergerak-gerak lincah mengikuti musik dixieland yang meluap keluar dari pintu-pintu rumah makan yang terbuka, yang juga penuh dengan manusia. "Aku lelah," Chet mengeluh. "Mari kita mencari hotel dan besok saja mulai menyelidik." "Kita tidak membutuhkan hotel," kata Joe kepadanya, dan mereka menuju ke Bourbon Street, mungkin jalan yang paling terkenal dalam sejarah musik jazz Amerika. "Peter Walker me-ngatakan bahwa kakeknya akan memberikan tempat menginap bagi kita. Ia mempunyai beberapa kamar di bagian atas kelabnya." Dengan mendesak-desak orang banyak, mereka sampai di sebuah kelab dengan huruf-huruf besar yang berbunyi STRETCH, tertulis di atas pintu depan. Sebuah band dixieland sedang bermain di dalam, tetapi tidak terlalu banyak langganan. "Itu tentu kakek Stretch yang ada di pentas itu," kata Joe. Ia memandangi seorang pemain trombon yang besar tubuhnya. "Katanya ia termasuk pemain top di sekitar sini." Stretch Walker memang satu di antara pemusik dixieland terbaik yang masih hidup. New Orleans adalah tempat kelahiran musik jazz, dan kini hanya tinggal sedikit yang dapat membanggakan diri telah ikut dalam pembentukan musik asli negara tersebut. Kakek Stretch adalah satu di antaranya! Para pemuda itu mencari tempat duduk dan mendengarkan band memainkan 'When the Saints Go Marching In', dengan kakek Stretch sebagai solis. Setelah lagu itu selesai, Frank dan Joe pergi ke pentas dan memperkenalkan diri. Kakek Stretch tersenyum lebar ketika mengetahui bahwa mereka adalah teman-teman cucunya. "Peter menelepon dan mengatakan bahwa kalian mungkin akan datang untuk berlibur," katanya. "Jadi aku sudah menyediakan kamar-kamar kalian." Ia mengajak mereka ke sebuah meja, dan mereka duduk. "Sebenarnya kami kemari bukan untuk berlibur," kata Frank kepada pemain trombon itu. "Kami sedang menangani suatu perkara. Dan Peter khawatir bahwa anda sedang mengalami semacam kesulitan, mungkin mengenai voodoo. Kami berjanji kepadanya untuk ikut mengamati." Senyum kakek Stretch menghilang ketika Frank menjelaskan tentang burung mati yang ber-tuliskan nama Stretch sembilan kali pada secarik kertas yang terlipat di dalam paruhnya. "Burung itu telah dikirimkan dari New Orleans," kata Frank mengakhiri penjelasannya. Kakek Stretch menggeleng-gelengkan kepala dengan marahnya. "Bangsat-bangsat itu!" ia hampir saja berteriak. "Sekarang mereka sudah mulai mengejar-ngejar keluargaku!" Ia menyumpah-nyumpah tertahan, kemudian mendongak memandangi tamu-tamunya. "Aku tak ingin keluargaku mengetahuinya." Ia mengerang. "Tetapi sekarang kukira aku tak punya pilihan, lagi." "Jadi anda memang sedang dalam kesulitan?" tanya Frank. Sambil menahan kepalanya di kedua tangannya, kakek Stretch Walker menghela napas dalam. "Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya, tetapi ada sejenis pemujaan voodoo yang hendak menjerat aku..." Kakek itu dipotong oleh suatu kegaduhan di kelabnya. Beberapa orang yang berpakaian berlebihan telah masuk dan dengan kasar mendesak menuju ke pentas. "Itulah mereka!" kakek Stretch menjerit. Ia berdiri. Orang-orang itu bertopeng dan tubuhnya di-coreng-moreng dengan cat. Beberapa di antaranya bahkan memakai jambul-jambul bulu burung di kepala dan lengannya. Sebelum pemuda-pemuda itu sempat berbuat sesuatu, orang-orang itu melompat ke pentas. Di sana mereka menari-nari gila-gilaan, menendang-nendang alat-alat musik dan berteriak-teriak bagaikan orang gila. Salah seorang di antaranya menyalakan sebuah 'bom busuk', yang diayun-ayunkan dengan tali di atas kepalanya, mengeluarkan asap tebal yang busuk baunya. Pada saat yang sama ia memerintahkan semua orang untuk meninggalkan kelab itu sebelum habis terbakar! Dengan kakek Stretch di depan, kakak beradik Hardy melompat menyerbu orang-orang tersebut. Maka terjadilah pukul-memukul, namun gerombolan itu jauh lebih banyak jumlahnya daripada si kakek bersama para pemuda. Mereka menggi- ring Frank dan Joe turun dari pentas, kemudian mereka berlari menerobos para pengunjung yang diam terkejut. "Aku akan mengejar mereka!" teriak Joe sambil merayap bangun dari lantai. "Ia menyelinap di antara orang banyak dan mengejar orang-orang yang melarikan diri ke jalan. Satu menit kemudian ia kembali, lesu terkena pukulan-pukulan. Hidungnya berdarah dan satu sisi dari wajahnya sudah mulai membengkak terkena pukulan, namun ia tertawa. "Aku berhasil merobek topeng salah seorang dan dapat mengenali wajahnya dengan baik!" kata Joe sambil duduk menyeka darah dari hidungnya. "Aku sendiri menerima beberapa pukulan." Frank memandangi adiknya dengan muram. "Ini," katanya, memberikan sepotong es yang terbungkus serbet. "Letakkan ini di atas hidungmu. Ini akan membantu menghentikan perdarahan." Joe menerima kompres es darurat itu. Frank berpaling kepada kakek Stretch yang sedang memandangi para pengunjung yang bergegas keluar dengan ketakutan. "Apa artinya semua ini?" tanya Frank. Kakek Stretch mengangkat bahu. "Aku baru hendak mengatakannya kepada kalian. Orang- orang tadi adalah anggota pemujaan voodoo. Mereka telah menganggu aku selama beberapa minggu, baik dengan pertunjukan seperti yang kalian lihat tadi maupun dengan ancaman-ancaman guna-guna yang mereka tujukan kepadaku. Beberapa pegawaiku telah keluar, dan sekarang ini kelompok musik menghadapi bahaya pecah. Itu semula akan menghancurkan usahaku." "Apakah anda telah melaporkannya kepada polisi?" tanya Joe. "Ya, tetapi mereka tak dapat berbuat banyak. Mereka menganggap voodoo ini tidak lebih daripada lelucon. Dan sekarang ini, dengan adanya perayaan Mardi Gras, mereka terlalu sibuk mengurus orang banyak daripada memperhatikan peristiwa macam ini." "Apakah anda menganggap ini sungguh-sungguh?" tanya Frank. "Aku tak tahu," jawab kakek Stretch dengan gelisah. "Tetapi dengan keluarnya orang-orangku serta usahaku yang menderita, lebih baik aku harus mulai menghadapinya dengan serius." "Anda belum mengerti apa yang mereka kehendaki?" tanya Frank. "Hanya pada mulanya mereka mengatakan kepadaku bahwa kelab ini dulu adalah rumah salah satu dewa voodoo. Mereka menghendaki agar aku keluar agar dewa tersebut dapat kembali atau semacam itu. Pada mulanya kukira mereka hanya sekelompok orang-orang sinting yang tidak berbahaya." "Yang jelas, dewa voodoo atau bukan, orang-orang itu bukan tidak berbahaya," kata Joe sambil mengompres pipinya. Kakek Stretch mengangguk. "Karena itulah aku tidak berani meninggalkan tempat ini untuk pergi ke Bayport menonton pertandingan Peter. Aku takut mereka akan membongkar tempat ini selama aku tidak ada di sini." Sebuah pikiran yang menggelisahkan melintas di wajah pemain trombon itu. "Menurut pendapat kalian, bagaimana para pemuja voodoo itu dapat mengetahui alamat cucuku? Mengapa pula mereka mengirimkan burung mati kepadanya?" "Mulanya kami kira hanya suatu lelucon," Frank mengaku. "Tetapi sekarang kami malah menjadi tidak yakin." Kakek Stretch menghela napas panjang. "Aku tak mempunyai musuh satu pun. Aku tak pernah berbuat sesuatu terhadap orang-orang itu. Mengapa mereka mengganggu aku?" "Itulah yang hendak kami selidiki," kata Joe memberi hati si kakek. "Frank dan aku adalah apa yang dapat anda katakan detektif amatir. Chet ini ... lho, mana Chet?" 11. Petunjuk Tukang Sihir Kedua pemuda itu telah lupa akan temannya si gemuk, dan tiba-tiba mereka sadar bahwa Chet tak bersama mereka lagi. Dengan khawatir mereka melihat ke seluruh isi kelab. "Chet!" seru Joe yang melihat tubuh temannya diam tak bergerak di sudut dekat pentas. Takut bahwa temannya terluka parah selama perkelahian, kedua pemuda itu lari mendekati. Mata Chet tertutup dan terbaring terkulai di dekat dinding. Joe membungkuk di atas tubuh yang lunglai itu. "Chet, Chet, engkau tak apa-apa?" ia berseru sambil mengguncang-guncang tubuh temannya. Dengan perlahan-lahan Chet membuka mata. "A - ada a-apa?" "Engkau baik?" tanya Joe. "Kukira baik saja," jawab Chet. "Paling tidak, begitulah, sampai kursi itu mengenai kepalaku. Kukira aku tadi pingsan barangkali." Tiba-tiba ia melihat luka-luka di wajah Joe. "Lho, wajahmu itu mengapa pula?" Frank menggeleng dengan muram. "Kami ceritakan nanti sambil naik ke atas. Mari kita tidur saja dulu." Kakek Stretch Walker menunjukkan kamar-kamar tidur mereka di lantai dua. Chet, Frank dan Joe tetap bangun, melihat orang-orang yang masih saja memenuhi jalan di bawah jendela mereka. Esok paginya mereka menelepon manajer lapangan terbang di mana Cessna biru itu mendarat. Tetapi sekali lagi manajer itu tak dapat mengatakan di mana pilot itu tinggal dan siapa penumpangnya. Frank menggerutu. "Kita belum juga lebih maju daripada ketika masih ada di Swamp Creek. Roger Mann entah ada di mana. Dengan kota begini penuh dengan pendatang, boleh dikatakan tidak mungkin melacak dia!" Joe mengangguk. "Tetapi kita harus dapat menemukan dia. Kalau ia memang mempunyai hubungan dengan pencurian, mungkin ia berada di New Orleans untuk menjual barang-barang curiannya." "Tidak hanya itu. Kita juga harus dapat menangkap basah. Kalau tidak kita tak dapat membuka perkara terhadap dirinya," Frank mengutarakan. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Chet hampir putus asa. "Pergi ke kantor polisi, mencoba kalau kalau dapat memperoleh daftar hotel-hotel di daerah ini," jawab Frank. "Memang sangat tipis harapannya, tetapi mungkin ada sesuatu yang dapat terungkap." Di kantor polisi, mereka menceritakan perkara yang sedang mereka garap kepada Kepala Polisi Lloyd, dan memberikan kepadanya daftar barang-barang yang dicuri. Ia berjanji akan menelepon mereka di kelab kalau-kalau ada dari barang-barang tersebut yang muncul. "Mengenai Roger Mann, aku akan menggunakan switchboard kami untuk membantu kalian," Pak Kepala itu berkata. "Aku akan menyuruh mereka menelepon setiap hotel dan penginapan di kota ini. Kalau kalian pergi sendiri ke tempat-tempat tersebut, kalian akan masih tetap tinggal di sini sampai perayaan Mardi Gras tahun depan!" Mereka mengucapkan terima kasih dan pergi. Ketika mereka berjalan kaki di jalan, Joe tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke sebuah toko kecil dengan jendela-jendela yang kotor, dengan papan nama: GUNA-GUNA, SIHIR, VOODOO. "Mari kita masuk," katanya. "Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Chet, setelah mereka memasuki tempat yang sempit itu. "Mungkin pemiliknya mengetahui sesuatu tentang pemujaan voodoo," jawab Frank. Pemilik toko itu, seorang nyonya muda, duduk di sebuah kursi empuk di sudut ruangan. Ia memakai gaun panjang dan beberapa untai kalung merjan. Lengannya penuh gelang-gelang perak, beberapa di antaranya berukir. Dinding-dindingnya penuh dengan botol-botol berisi daun-daunan obat dan berbagai cairan-cairan, memberikan kesan sebagai toko obat kuno. "Dapatkah aku membantu kalian?" tanya nyonya itu sambil berdiri dari kursinya. "Kami berharap anda dapat memberitahu di mana ada suatu pemujaan voodoo," kata Frank kepadanya. Kemudian ia memberikan ciri-ciri dari orang-orang yang telah menyerbu ke kelab kakek Stretch malam sebelumnya. "Siapa pun bisa saja." Pemilik toko itu mengangkat bahu. "Selama perayaan Mardi Gras, berbagai macam orang bertindak menurut ke- mauan mereka sendiri. Orang-orang itu mungkin sekelompok tukang olok-olok, berpura-pura sebagai pemuja-pemuja voodoo. Pemuja-pemuja voodoo yang sebenarnya lebih banyak menyembunyikan dirinya. Mereka tak ingin menarik perhatian orang." "Orang-orang ini lebih dari sekedar tukang olok-olok," kata Joe. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan sisa-sisa bom busuk yang ditemukannya di pentas pagi tadi. "Mereka membakar benda ini di kelab kakek Stretch. Barangkali anda dapat mengatakan, dibuat dari apa benda ini?" Nyonya itu mengambil sisa-sisa itu, lalu meletakkan di atas meja. Kemudian ia memisah-misah-kannya dan membaui setiap potongan, untuk mengenali bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk membuat bom tersebut. Setelah selesai, ia nampak terlena sejenak ke dalam pikirannya. "Semua bahan-bahan ini dapat dibeli di sini," akhirnya ia berkata. "Sebenarnya, memang ada seseorang yang datang membeli bahan-bahan itu di sini beberapa hari yang lalu. Aku tak tahu apakah ia anggota rombongan voodoo itu." "Apakah anda mempunyai catatan penjualan?" tanya Frank yang tergugah minatnya. "Ia membayar dengan cek," kata nyonya yang masih muda itu. "Aku belum sempat menguangkannya. Tentunya ada nama dan alamatnya." Ia membalik-balik isi laci mesin hitungnya untuk mencari cek tersebut, kemudian menuliskan sesuatu pada secarik kertas. "Ini alamatnya," ia berkata. "Nama orang itu Maurice Dubois." "Terima kasih," kata Frank sambil menerima kertas itu, lalu memasukkan ke dalam saku. "Sambil lalu, apakah anda sendiri melakukan voodoo? Kami ingin tahu lebih banyak tentang voodoo." "Tidak." Nyonya itu tersenyum. "Aku tukang sihir." Para pemuda terbelalak dan berdiri dengan diam, tak tahu bagaimana harus menanggapinya. "Tetapi," nyonya itu meneruskan sambil menikmati keterkejutan para pemuda itu, "aku kenal seseorang yang mengerti tentang voodoo. Ia akan dengan senang hati mengatakan apa yang ingin kalian ketahui." Ia menulis lagi sebuah nama dan alamat pada secarik kertas. "Namanya Paul Va-lent. Katakan saja aku yang menyuruh kalian ke sana." Para pemuda itu mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan toko kecil tersebut. Mula-mula mereka menuju ke alamat Pak M. Dubois, yang ternyata berupa rumah untuk dua keluarga di French Quarter, salah satu bagian tertua dari New Orleans. Namun tak ada jawaban ketika mereka membunyikan lonceng pintu di mana terpampang nama tersebut. "Apartemennya di lantai atas," kata Frank kepada Chet. "Kuingin kau berdiri di seberang jalan dan mengawasi jendelanya. Kalau kaulihat seseorang yang masuk atau keluar, panggillah kami. Sementara itu aku dan Joe akan mengunjungi ahli voodoo yang diberitahukan oleh pemilik toko tadi." Chet merasa kurang senang ditinggalkan untuk mengawasi apartemen, tetapi ia menyetujuinya. Setelah menulis nomor telepon Valent, ia lalu mencari tempat pada sebuah ambang pintu di seberang jalan. Paul Valent, si ahli voodoo, juga tinggal di French Quarter. Ia bekas seorang profesor, gemuk, dan yang telah mempelajari voodoo serta ilmu hitam semenjak ia pensiun. Ia memperlihatkan Frank dan Joe segala benda di apartemennya, yang berisi sekumpulan topeng dan alat-alat lainnya yang digunakan dalam upacara-upacara berbagai takhayul, termasuk voodoo. Ia senang mendapat tamu, dan menjejali telinga mereka dengan dongeng-dongeng sejarah voodoo: bagaimana asal mulanya di Afrika sebagai pemujaan kepada ular, kemudian meluas ke Haiti dan bagian Selatan Amerika Serikat. "Ya, memang masih ada yang melakukan di daerah ini," kata orang tua gemuk itu. "Bahkan baru-baru ini orang melihat ayam, kucing, kambing dan binatang-binatang tanpa kepala, terapung-apung di sungai Mississippi, yang mungkin berasal dari upacara-upacara voodoo." "Bagaimana mengenai gerombolan yang menyerbu kelab kakek Stertch?" tanya Joe. "Apakah anda kira mereka itu memang pemuja-pemuja voodoo?" Profesor itu nampak kurang mengerti. "Sebenarnya tidak. Dongengan bahwa rumah Stretch Walker itu adalah bekas kediaman dewa voodoo kedengarannya bukan kebiasaan dari takhayul tersebut. Memang, banyak jenis voodoo yang kini dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil, yang telah merubah pola aslinya untuk disesuaikan dengan alam pikiran mereka sendiri. Jadi, apa pun bisa terjadi." "Apa yang hendak kami ketahui," kata Frank, "Ialah, apakah pemujaan ini terdiri dari sekelompok pelawak-pelawak yang punya takhayul, ataukah mereka menggunakan voodoo sebagai topeng untuk menyamarkan suatu perbuatan yang tidak sah." "Aku tak dapat mengatakannya," kata pro- fesor itu sambil mengangkat alisnya. "Pada perayaan Mardi Gras, orang-orang melakukan segala macam perbuatan sinting. Seluruh kota menjadi sinting." Pada saat itu telepon berdering. Pak Valent mengangkat pesawatnya, kemudian mengulurkan-nya kepada Frank. "Untukmu." "Ada orang yang masuk ke apartemen," terdengar suara Chet dengan khawatir di telepon. "Seorang laki-laki. Ia mengendarai mobil Cadillac hijau. Kulihat ia keluar, lalu sekali lagi dari jendela rumah Dubois. Ia tinggal beberapa menit, lalu berangkat lagi." "Apakah engkau berbicara dengannya?" tanya Frank. "Jangan main-main! Ia tinggi-besar dan nampak jahat. Aku ingin engkau segera kemari, tetapi ia telah pergi sebelum aku dapat menelepon." "Oke," kata Frank. "Kembalilah ke tempat kakek Stretch. Kami segera akan ke sana." Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak profesor atas bantuannya, Frank dan Joe kembali ke kelab dan bertemu dengan Chet di pintu. "Ada orang yang melumurkan cat ke pintu kelab," kata Chet. "Kau lihat? Kotor sekali." Kedua pemuda detektif itu melihat tanda-tanda merah. "Kukira, dengan begitu banyaknya orang di jalan, tak satu pun yang aman dari tindakan vandalisme," kata Joe dengan sedih. Mereka masuk dengan menggunakan kunci yang diberikan oleh pemain jazz itu, dan melihat di bagian dalamnya kosong. "Ini aneh," kata Joe. "Kakek Stretch mengatakan bahwa ia akan tinggal di rumah sehari ini." Frank menuju ke tangga untuk ke lantai dua. "Barangkali ia akan pulang sebentar lagi ... he, ini ada surat!" Ia memungut secarik kertas dari undakan terbawah, lalu membacanya keras-keras: ANAK-ANAK: PESAN DARI MARKAS BESAR. MEREKA TAK DAPAT MENEMUKAN R.M. TEMUI AKU DI WARUNG GUMBO, SEMBILAN KILO KE BARAT PADA LEVY ROAD, SEGERA. STRETCH. 12. Voodoo "Apakah kau kira surat ini benar-benar dari kakek Stretch?" tanya Chet. "Aku tak percaya bahwa sersan polisi itu mau memberikan pesan itu kepada orang lain- kecuali dia," kata Frank. "Tetapi ... siapa tahu. Kita akan mengetahuinya dengan pasti kalau kita sudah sampai di sana." Kedua pemuda bersama temannya berlari ke jalan dan memanggil taksi. Ketika mereka menyebutkan alamat, sopir menengok dan memandangi mereka dengan dahi mengerut. "Kalian yakin minta diantarkan ke sana? Kalian tahu apa yang sedang terjadi di sana?" "Tidak. Memangnya apa?" tanya Frank. "Voodoo! Itulah!" kata sopir kepada mereka. "Aku sendiri tidak mau ada di dekat sana. Mereka segera akan mengguna-gunai kalian begitu mereka melihat kalian!" "Bawalah kami ke sana," kata Frank tegas kepada sopir yang percaya takhayul. "Engkau dapat menurunkan kami di jalan kalau kau mau." Sopir mengangkat bahu lalu menuju ke Levy Road, arah barat laut dari kota. Matahari sudah terbenam ketika mereka berhenti di pinggir jalan dan turun. Setelah menerima upahnya, sopir itu memberitahu kepada mereka agar berjalan terus kira-kira seratus meter lagi, dan Warung Gumbo ada di sebelah kiri jalan. "Maukah menunggu kami di sini?" tanya Chet, merasa kurang enak ditinggal di tempat yang asing. "Tidak usah, ya!" jawab si sopir. "Aku segera pergi dari sini, sekarang juga!" Dengan kata-kata itu, ia berangkat meninggalkan debu. "Bagaimana kita pulang nanti," pikir Chet. "Kita akan mendapatkan jalan," kata Frank. "Kalau kakek Stretch memang ada di sini, ia tentu membawa mobil." Warung itu kecil dan kumal. Ketiga pemuda itu mendekatinya dengan hati-hati. "He, anak-anak!" tiba-tiba terdengar suara berbisik dari balik semak-semak. Frank dan Joe membalikkan tubuh, melihat kakek Stretch Walker keluar dari semak-semak. "Kakek Stretch! Apa yang..." Chet hendak berbicara, tetapi kakek Stretch memberi isyarat agar jangan berbicara, dan sebaliknya agar mereka mengikuti dia masuk ke semak-semak. "Kalian sudah terlambat untuk babak pertama," kata kakek itu dengan berbisik, lalu mengajak mereka masuk ke hutan. "Apa yang anda katakan itu?" tanya Frank. "Lihat saja sendiri," jawab kakek itu. Ia menunjuk ke suatu tempat yang tak berpohon di depan, di mana sedang berlangsung suatu upacara voodoo. Seorang laki-laki berpakaian menyolok mengetuai upacara, duduk pada kursi yang ditinggikan. Di dekat kakinya terdapat sebuah kandang yang panjang berisi seekor ular. Seorang wanita duduk di sebelahnya, juga memakai pakaian yang berwarna-warni lengkap dengan permatanya. Sebuah api unggun yang besar menyala di tengah-tengah tempat yang terbuka tersebut, menerangi tiga puluh atau lebih orang-orang yang duduk berkumpul di tanah membentuk lingkaran. "Kukira mereka sedang hendak melakukan upacara penerimaan anggota baru," bisik kakek Stretch. Ia berbaring meringkuk di belakang ba- tang pohon yang tumbang di luar tempat terbuka tersebut. Frank, Joe dan Chet memandangi ketika pemimpin kaum voodoo itu memungut sebatang kayu dari api unggun, lalu membuat lingkaran di tanah di depannya. Seorang dari para pemuja berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam lingkaran. "Itulah orang yang akan dilantik," Kakek Stretch menjelaskan. "Laki-laki dan wanita yang berpakaian aneh itu adalah raja dan ratu. Mereka yang memimpin upacara." Frank dan Joe saling bertukar pandangan, keduanya terkesan akan perkataan 'raja' dalam beberapa hari yang lalu. Mereka memandangi raja voodoo itu mengetukkan kayu tersebut ke kepala anggota baru, kemudian mulai menyanyikan lagu mantra yang kedengarannya berasal dari Afrika: EH! EH! BOMBA, HEN, HEN! CANGA BAFIO TE, CANGA MOUNE DE LE! Sementara nyanyian dilanjutkan, anggota baru itu menari menggeliat-geliat, meliuk-liuk seperti gerakan ular. Kemudian kepadanya diberikan secangkir cairan. Setelah habis diminumnya, ia mulai menari dengan lebih berapi-api, dan akhirnya kerasukan di tengah lingkaran. Akhirnya orang itu berhenti menari. Ia dituntun ke mesbah darurat, di mana ia mengucapkan sumpah untuk patuh kepada hukum-hukum pemujaan dan memuja ular. Setelah selesai upacara pelantikan, raja itu meletakkan kakinya ke atas kandang yang berisi ular. Nampaknya ada semacam arus listrik yang merasuk ke tubuhnya, lalu dipancarkan ke ratu voodoo, kemudian ke seluruh pemuja. Mereka semua mulai gemetar menggigil hebat, menggeliat-geliat berkelojotan di tanah. Setelah mereka semua kehabisan tenaga, upacara selesai. "Wah, wah, wah! Suatu pertunjukan yang luar biasa!" kata Chet, mulutnya ternganga melihat para pemuja itu. "Apa sebenarnya yang menyebabkan anda kemari?" tanya Frank sambil berpaling kepada kakek pemain trombon itu. Kakek itu berdiri. "Salah seorang dari mereka telah menggambari pintuku dengan gambaran-gambaran yang aneh-aneh ketika aku pulang ke kelabku siang tadi," katanya. "Ah, gambar-gambar itu?" tanya Chet. "Kami juga telah melihatnya, dan mengira hanya perbuatan vandalisme saja." "Bukan," kata kakek. "Itu gerombolan voodoo. Aku bersembunyi di balik sudut gedung sampai orang itu selesai, lalu kuikuti sampai ke sini dengan mobilku. Kemudian aku kembali untuk mencari kalian, tetapi kalian tidak ada. Aku meninggalkan surat itu lalu ke mari lagi." "Nah, kita sudah mengetahui satu hal," kata Joe. "Orang-orang ini benar-benar pengikut voodoo. Bukan hanya berpura-pura, untuk menutupi sesuatu yang lain." "Tetapi apa yang mereka kehendaki dari kakek Stretch?" tanya Chet. "Mengapa mereka justru memilih dia?" "Kalau saja aku tahu," kata Frank. "Mari kita kembali ke warung. Barangkali kita dapat mendengar sesuatu." Mereka mengitari hutan. Di belakang tempat makan yang kecil itu mereka mendapatkan sebuah tempat parkir yang berisi beberapa buah mobil. Rupa-rupanya milik para pemuja. "Orang-orang itu tentu harus berganti pakaian dulu sebelum pulang," kata Joe. Frank mengangguk. "Kita lihat saja, apakah kita dapat mengintip mereka. Kakek Stretch, tolong sediakan mobil anda, kalau kalau kita harus segera pergi. Oke?" "Tentu," jawab orang tua itu sambil tersenyum dan pergi. Para pemuda semakin mendekati tempat parkir. "He!" seru Chet dengan berbisik. "Itu mobil Cadillac hijau yang kulihat di apartemen siang tadi. Itu milik Maurice Dubois!" "Cocok," kata Frank. "Mari kita ke samping warung, mencoba apa yang dapat kita lihat dari jendela." Dengan hati-hati para pemuda mendekati warung. Mereka mengintip ke dalam, tetapi yang dapat mereka lihat hanya tempat-tempat makan yang kosong. Langganan tidak ada, dan demikian pula para anggota pemuja voodoo. "Mereka tentu berada di ruangan lain," bisik Frank. "Barangkali..." Frank mendengar suara gemerisik di belakang mereka lalu membalikkan tubuhnya. Enam orang sedang mengepung mereka dari dua sisi! "Lari!" seru Frank sambil melompat lari dari warung. Tetapi salah seorang cukup dekat dengannya untuk mencegat dan menjegalnya. Frank terkapar di atas aspal. Dalam sedetik ia sudah bangun dan menendang penyerangnya. Terjadilah pergumulan, para pemuda itu, satu melawan dua pemuja voodoo. "Ayo lari dari sini!" Chet melenguh. Untunglah, kakek Stretch telah mencapai mobilnya dan kini melaju ke tempat pergumulan. Sementara orang-orang itu menghindar dari serbuan mobil, ketiga pemuda berhasil melompat naik. Salah seorang mencoba menarik Joe dari tempat duduknya di depan, tetapi Joe dengan kerasnya menendang hingga musuhnya terkapar. Dua orang lagi berpegangan pada spatbor. Kakek Stretch menginjak gas, kemudian membelok-belokkan mobilnya dengan tajam, hingga kedua orang itu terlempar lepas. "Huuuh," seru Joe. "Hampir saja!" "Mereka tentu telah melihat kita berjalan ke warung," kata Frank setengah menggerutu. Joe mengangguk. "Tidak tahunya teman kita yang kuhajar dulu juga ikut. Tetapi senang juga aku, dapat menendang tulang keringnya dengan keras!" "Aku juga," Frank menggerutu. "Hanya kali ini rahangku kena, tetapi bagus juga perkelahian kita!" Dengan hati-hati ia mengelus-elus pipinya yang mulai membengkak. "Orang yang menjegalmu pertama kali tadi adalah Dubois," kata Chet kepada Frank. "Ternyata dia juga si raja voodoo itu," kata Frank. "Aku dapat memastikannya meskipun ia berpakaian sedemikian." Kakek Stretch ikut pula berkata: "Aku kenal Maurice Dubois; Ia juga pemain musik dixieland. Biasanya dulu memainkan bas ketika Satchmo masih berkeliling kota ini." "Apakah anda juga pernah bermain bersama Satchmo?" Chet menyela, teringat akan Louis Armstrong yang legendaris itu, yang mendapat nama panggilan Satchmo ketika masih muda. Kakek itu mengangguk. "Satu atau dua kali. Kita sering mengadakan pertemuan kaum pemusik." "Ha, jadi anda mengenal raja voodoo itu secara pribadi," kata Frank kembali kepada persoalan semula. "Ya. Tetapi aku tak melihatnya selama beberapa tahun," kata kakek Stretch. "Ia dipenjarakan beberapa waktu yang lalu. Apa yang kudengar ialah bahwa ia telah bebas dan kini menjadi kongsi sebuah kelab di kota." "Apakah ia mempunyai ganjelan pribadi dengan anda?" tanya Joe. Pemain trombon itu mengangkat bahu. "Tidak. Tetapi ia memang semacam orang yang bandel. Ketika ia mulai bercampur dengan orang-orang jahat, pemain-pemain musik yang lain tak mau lagi bergaul dengannya." "Kata anda, kini ia berkongsi mendirikan kelab?" tanya Frank. "Benar. Dinamakan Jazz Alley. Hanya sedikit di luar kota, tempatnya juga kecil." "Anda tak dapat mengira-ira mengapa ia dan komplotannya mengganggu anda?" "Sama sekali tidak," jawab si kakek sambil menggeleng. Frank duduk sambil melihat keluar dari jendela memutar pikirannya. Mereka sedang memasuki kota, dan lalu lintas mulai menjadi ramai hingga mereka terpaksa melambatkan perjalanan. "Apakah baru-baru ini ada orang yang menawar hendak membeli kelab anda?" tanya Frank atas suatu firasat. Kakek merapatkan alis matanya. "Ya. Memang, beberapa minggu yang lalu ada orang yang hendak membelinya. Tetapi tawarannya terlalu rendah, dan bagaimana pun aku memang tidak mau menjualnya." "Siapa yang menawar itu?" pemuda itu mendesak. "Seseorang yang bernama Sedgwick Stokes," jawab kakek Stretch. "Ia berusaha di bidang real-estate. Banner Realty nama perusahaannya. Kantornya hanya beberapa blok dari rumahku." Beberapa menit kemudian mereka telah tiba dengan selamat di kelab. Jalanan masih penuh dengan orang, tetapi di dalam hanya ada beberapa langganan saja. "Seharusnya sekarang ini penuh," kata si kakek sambil mengeluh. "Orang-orang gila voodoo telah menghancurkan usahaku." "Kukira memang itulah maksud mereka," kata Frank. "Tetapi mengapa?" kata si kakek sambil berpikir-pikir. "Kita panggil saja polisi dan suruh mereka memenjarakan bangsat-bangsat itu!" Chet mengusulkan. "Kita tak mungkin dapat menangkap mereka dalam jumlah besar," kata Frank sambil menggeleng. "Tentu ada sesuatu di balik kedok voodoo ini, dan kita harus mengetahui apa itu." Joe mengangguk. "Memanggil polisi mungkin malah membuyarkan segala rencana kita." "Tetapi jangan terlalu lama," si kakek memohon. "Dengan segala gangguan ini, aku mungkin terpaksa harus menjual usahaku, bahkan mungkin kepada Stokes." "Jangan terburu-buru," Frank memperingatkan. "Kita masih harus membalik balikkan beberapa buah batu untuk dapat melihat di bawahnya, dan Sedgwick Stokes yang mendapat giliran pertama." "Kukira kita akan menemukan banyak cacing di sana," sambung Joe. "Bagaimana dengan tanda merah-merah yang dicoret-coretkan badut-badut voodoo di pintuku itu?" tanya pemain trombon itu. "Menurutmu untuk apa semua itu?" Frank, Joe dan Chet memeriksa pintu yang masih berlumur merah-merah dari kemarin ma- lam. Warna-warna itu tak membentuk pola atau gambar tertentu, hanya dioles-oleskan dengan kuas. Mereka berpikir-pikir dengan tak mengerti untuk beberapa menit. Kemudian Frank berlutut lalu mengerok sedikit dengan kuku jarinya. "Lho!" serunya. "Ini bukan cat. Ini darah!" 13. Kesulitan Beruntun "Boleh dipastikan ini darah ayam," Joe menduga. "Tetapi bagaimanapun tetap mengerikan." "Aku setuju!" Chet mengiakan. Mereka masuk untuk memberitahu kakek Stertch tentang darah tersebut, tetapi pemain trombon itu sedang ada di pentas, bermain dengan rombongan musiknya yang kecil di depan para pengunjung. "Mari kita keluar dulu mencari makan, kemudian tidur lekas-lekas," Frank menyarankan. "Besok pagi-pagi kita banyak pekerjaan, dan kuingin dapat dimulai pagi-pagi benar." Ketika mereka kembali dari sebuah rumah makan, Chet tinggal beberapa waktu lagi untuk mendengarkan musik. Tetapi Joe dan Frank segera mengundurkan diri ke kamar masing-masing. Pagi harinya, kedua pemuda itu meninggalkan teman mereka yang masih tidur dan berjalan kaki ke Banner Realty. Sedgwick Stokes sedang berada di kantor bagian belakang di gedung yang besar. Orangnya kecil, memakai kacamata hitam. Pakaiannya yang berwarna kecoklatan agak terlalu longgar bagi tubuhnya, dan nampaknya seperti sudah lama tidak diseterika. "Apa yang dapat kulakukan untuk kalian?" ia bertanya kepada kedua pemuda sambil menyeringai senyuman-bisnis. "Kami teman-teman dari Stretch Walker," kata Frank sambil melangkah ke meja. "Kami dengar, belum lama ini anda mengajukan tawaran untuk membeli kelabnya. Ia mengatakan kepada kami bahwa tawaran anda terlalu sedikit. Mengapa anda mengira bahwa ia akan menjual begitu murah?" "Anu ..." Makelar itu seperti sulit mencari kata-katanya. "Kudengar bahwa Stretch sedang mengalami waktu-waktu yang sulit akhir-akhir ini. Karena itu kukira ia akan menjual kelabnya, dan aku mengajukan tawaran." "Jadi anda tahu tentang gerombolan voodoo yang mengganggu dia?" Joe mengambil alih pertanyaan kakaknya. Orang kecil itu nampak menjadi waspada. "Ya, memang, aku tahu. Lalu apa tujuanmu?" Joe membungkukkan badannya di atas meja, dan menatap Stokes langsung ke matanya. "Kami hanya menduga bahwa anda dan para pemuja voodoo itu bekerjasama, memaksa kakek itu untuk menjual kelabnya dengan murah!" katanya dengan datar. Stokes tertawa dengan gugup dan bergerak-gerak membetulkan duduknya. "Itu lucu! Aku seorang pengusaha, yang melihat kesempatan untuk membeli rumah dengan murah! Hanya itu! Aku tak tahu siapa-siapa orang-orang voodoo itu, atau, mengapa mereka mengganggu temanmu. Nah, maafkan aku. Aku masih banyak urusan." Merasa yakin bahwa Stokes memang mencoba menutup-nutupi sesuatu, Frank dan Joe meninggalkan kantor. "Mungkin tidak mudah untuk membuktikannya," kata Joe setiba di luar. "Tetapi aku yakin orang ini tentu terlibat dalam persoalan kakek Stretch." "Akur," kata Frank. "Mari kita periksa perusahaan Stokes lebih jauh. Barangkali ayah dapat menemukan sesuatu untuk kita." Joe mengangguk. "Kita memang belum berbicara dengan ayah dalam beberapa hari ini. Barangkali ia telah mengetahui lebih banyak lagi tentang pencurian-pencurian itu." "Dan Sam mungkin juga sudah mendapatkan petunjuk atas Cessna biru itu bersama pilotnya," Frank menambahkan. "Misalnya di mana ia tinggal, atau siapa penumpangnya." Di sepanjang jalan ke kelab jazz, mereka melihat bahwa kota semakin menjadi ramai dengan kegiatan perayaan Mardi Gras. Orang-orang yang berpakaian aneh-aneh hilir mudik di jalan-jalan, memenuhi daerah kota bawah dengan suasana pesta. "Tempat ini benar-benar hidup," kata Joe sambil melihat ke sekitarnya. "Itu karena besok adalah hari terakhir perayaan Mardi Gras," kata kakaknya. "Mereka menyebutnya Selasa Lemak-lemak, bagian yang paling ramai dari perayaan ini. Seluruh hari sampai malam akan penuh dengan barisan-barisan." Joe menoleh ke belakang memandangi suasana yang penuh warna-warni, tetapi segera memegang lengan kakaknya. "Kukira ada orang yang membuntuti kita," ia berkata dengan khawatir. "Coba kaulihat." Dengan berpura-pura melihat-lihat tanpa tujuan, pemuda berambut hitam itu menengok ke belakang. Ia melihat orang yang berpakaian upacara voodoo mengendap-endap kira-kira tujuh meter di belakang mereka. "Benar," katanya. "Sekarang bangsat-bangsat kita mulai mengejar-ngejar kita!" Sambil berharap dapat menghilangkan jejak di tengah-tengah orang banyak, mereka mempercepat jalan mereka. Mereka menengok lagi setiba di akhir blok perumahan, dengan jengkel mereka melihat bahwa orang yang mereka pergoki tadi juga berjalan semakin cepat. Bahkan kini beberapa pemuja voodoo ikut bersamanya, berusaha manangkap kedua pemuda! "Cepat! Masuk ke jalan ini!" Frank mendesis, dan tiba-tiba ia membelok ke kanan. Mereka membelok di sudut, kemudian berlari ke jalan besar. Orang-orang di belakang mulai berlari juga, sambil mendorong-dorong mencari jalan di antara orang banyak. Jalan besar itu tidak saja penuh dengan para turis, tetapi suatu barisan pesta yang resmi sedang bergerak pula. Rombongan-rombongan musik tiup berbaris berturut-turut, dan di antaranya terdapat pula kendaraan-kendaraan berhias. Namun barisan itu cepat juga jalannya. "Mereka semakin dekat," seru Joe ketika menoleh ke belakang. "Ikuti aku," kata Frank sambil menerobos orang banyak. "Aku punya akal." Dengan Frank berjalan di depan, kedua pemuda itu lari masuk ke dalam barisan. Mereka merunduk masuk ke dalam kendaraan berhias, bersembunyi di bawah kain-kain hiasan pinggir. Kecuali panggung di atasnya, di kolong kendaraan itu keadaannya kosong. Mereka berjalan di kolong hingga beberapa blok sebelum keluar lagi. Joe mengawasi jalan dengan hati-hati. "Kita telah lolos," akhirnya ia berkata dengan lega. "Untuk sementara ini, memang," kata Frank membenarkan. "Mari kita kembali ke tempat kakek Stretch." Ketika mereka sampai di kelab, Chet baru saja bangun. "Banyak yang tak kulihat?" tanya Chet. Frank tertawa kecil. "Banyak. Beruntunglah kau. Kukira kau tak dapat mengikuti kecepatan kami." "Mengikuti kecepatan kalian?" tanya Chet sambil menguap. "Kecepatan apa?" "Sudahlah," kata Joe sambil tertawa. "Ingat saja, agar waspada terhadap orang-orang voodoo. Sekarang mereka justru mencari kita!" Chet nampak tidak gembira, tetapi Joe tak menjelaskan lebih lanjut. Ia bahkan keluar ke serambi, lalu menelepon ke rumahnya di Bayport. Untuk sejenak telepon tak bersuara, kemudian Pak Hardy yang menjawab. "Aku sudah menghu- bungi polisi Georgia," ia memberitahu anaknya. "Rattlesnake Clem dibebaskan dengan uang jaminan." "Bagus," kata Joe, lalu menjelaskan bahwa mereka menduga bahwa Clem memang tidak bersalah. "Kami kira, ia difitnah, tetapi kami belum dapat menemukan tempat Roger Mann. Ia dan penumpangnya mungkin sekali ada di belakang layar semua ini." "Sam telah memeriksa berkas-berkas Mann," kata Pak Hardy. "Tetapi ia tak menemukan sesuatu yang penting. Ia hanya menjual jasa sebagai pilot," "Apakah ayah tahu siapa yang menyewa dia sekarang ini?" "Di situlah misterinya," jawab ayahnya. "Pilot-pilot teman Mann biasanya tahu siapa penumpangnya. Tetapi kali ini ia tutup mulut tentang penumpangnya, seolah-olah ia sedang menutup-nutupi sesuatu." "Cocok kalau begitu." Joe menghela napas. Kemudian ia menceritakan tentang masalah yang dihadapi Stretch Walker dengan kaum pemuja voodoo. "Aku ingin agar kalian hati-hati," Pak Hardy memperingatkan. "Komplotan itu kedengarannya jahat. Tetapi aku akan menelepon Peter Walker, memberitahu dia bahwa kalian sedang menanganinya." "Terima kasih, Ayah," kata Joe. "Satu hal lagi," kata ayahnya sebelum meletakkan pesawatnya. "Polisi Georgia memberitahu bahwa Clem minta izin untuk pergi ke New Orleans selama seminggu. Katanya ia hendak mengambil barang-barang dagangan untuk usahanya." "Ha. Itu menarik," kata Joe. "Aku ingin tahu apakah kita akan bertemu dengannya." Setelah selesai percakapan dengan ayahnya, Joe memberitahukan berita itu kepada Frank. "Clem akan kemari," katanya dengan wajah penuh pertanyaan. "Mereka membebaskan dia dengan jaminan." "Kemari?" tanya Frank. "Untuk apa?" "Diperkirakan untuk membeli barang dagangan." Chet yang sedang berada di kamar mandi, lalu keluar dan mendekat. "Apakah kakek Stretch ada sekarang?" tanya Frank kepadanya. "Kukira ada," jawab Chet. "Tadi kudengar ada beberapa orang di bawah. Mereka gaduh sekali. Kukira kakek Stretch bersama rombongannya sedang membicarakan sesuatu." "Tetapi engkau tidak turun untuk melihat?" tanya Joe tidak percaya. Chet mengangkat kedua tangannya. "Tidak. Untuk apa? Aku masih mengantuk." Rasa merinding merayapi punggung Frank, ketika sadar bahwa mungkin sekali kakek Stretch telah menjadi korban orang-orang yang telah mencoba menangkap mereka sendiri sebelumnya! "Kuharap saja kita tidak membuat keadaan menjadi lebih parah lagi," ia mengeluh. "Aku juga berharap demikian," kata Joe. "Dubois tidak terlalu senang dengan kunjungan kita ke upacara voodoo kemarin. Barangkali ia telah memutuskan untuk mulai bermain kayu!" "Kalian hendak mengatakan bahwa mungkin mereka telah menculik kakek Stretch?" Chet mengerang. Tiba-tiba ia merasa bersalah karena hanya tidur saja sewaktu kemungkinan adanya bahaya. "Aku tidak tahu. Waspada sajalah untuk sementara waktu." saran Frank. "Kalau kakek Stretch sore ini tidak kemari juga, kita telepon polisi!" 14. Nyanyian Sandi Mereka meninggalkan kelab dan menuju ke gedung pemerintahan kota, untuk memeriksa daftar tanah milik setempat. Daftar itu mengungkapkan bahwa Sedgwick Stokes telah membeli beberapa kelab jazz di New Orleans. Penyelidikan selanjutnya mengungkapkan, bahwa Stokes telah menutupnya dan merubahnya menjadi perusahaan lain. Satu-satunya kekecualian hanya Jazz Alley, di mana Stokes dan Dubois berkongsi. "Kukira kini aku mengerti maksud Stokes," Joe menggerutu ketika mereka keluar dari gedung itu. "Ia dan Dubois bekerjasama menakut-nakuti pemilik-pemilik kelab jazz untuk menjualnya, yaitu demi mengurangi persaingan." Frank mengangguk. "Tak heran bahwa ia mengetahui perihal pemujaan voodoo itu. Barangkali ia malah menjadi anggota!" "Jadi Jazz Alley yang harus kita kunjungi selanjutnya," Chet menyimpulkan. Frank melihat arlojinya. "Pertama-tama kita kembali dulu, melihat apakah kakek Stretch ada di rumah." Dengan tetap waspada terhadap para anggota voodoo, mereka menuju ke kelab. Setiba di pintu, pada saat mereka baru saja hendak masuk, dari balik tumpukan peti-peti di gang sebelah gedung muncul sesosok tubuh seperti hantu! Bayangan itu berpakaian kain putih dan berkerudung. Hanya dua lubang kecil yang nampak di depan mata. Chet mundur ke ambang pintu, ngeri melihat "hantu" itu melangkah ke arahnya. Pada saat itu pula Frank dan Joe mengepalkan tinjunya, bersiap-siap untuk berkelahi. "He, anak-anak," terdengar suara dari balik kerudung. "Ini aku, Stretch!" Pemuda-pemuda itu mengendorkan kewaspadaannya. "Ap..." Joe hendak berkata. "Ssst! Kemari." Pemain trombon itu memotong kata-katanya sambil berbisik dan memberi isyarat kepada mereka untuk mengikutinya. Sambil menahan rasa ingin tahu mengapa kakek itu berpakaian demikian, mereka pergi bersamanya masuk ke gang, menuju ke pasar buah yang ramai. Di sana kakek itu membuka kerudungnya. "Halo!" ia tertawa kecil. "Kuharap saja aku tidak membuat kalian takut." "Apa-apaan ini semua?" tanya Joe dengan heran. "Dubois dan konco-konconya berkunjung pagi tadi, ketika kalian sedang keluar," kata kakek itu. "Mereka mengatakan, hendak berbicara dengan kalian. Tetapi aku takut bahwa mereka hendak menggunakan kekerasan terhadap kalian. Mereka hendak naik ke atas mencari kalian, tetapi ada seorang lagi yang datang, mengatakan bahwa ia telah melihat kalian di jalan. Kemudian mereka pergi." "Tetapi untuk apa anda menyamar?" tanya Joe. "Dubois kembali lagi siang ini, dan seluruh gerombolan itu menunggu kalian di kelab sekarang ini," jawab kakek. "Aku menyelinap keluar agar dapat menemui kalian sebelum terlanjur masuk. Kerudung ini untuk menyamar agar mereka tak mengenali aku." "Terima kasih," kata Frank. Pemain trombon itu tertawa kecil. "Paling tidak inilah yang dapat kulakukan setelah aku menyebabkan kesulitan bagi kalian." "Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Chet. "Rupanya kini adalah waktu yang paling tepat untuk mengunjungi Jazz Alley," usul Joe. "Kita memeriksa kelab mereka sementara mereka justru menunggu kita di kelab kakek Stretch." Dengan kardus-kardus bekas buah-buahan yang terserak di pasar itu, mereka membuat pakaian samaran yang aneh-aneh. Setelah mereka menyamar semua, mereka turun ke jalan dan berjalan ke mobil kakek Stretch yang diparkir beberapa blok dari sana. Dari sana, mereka menuju ke pinggiran kota. Jazz Alley merupakan gedung kayu yang rendah, terletak di ujung sebuah daerah pertokoan. Pada saat mereka tiba di sana, keadaan sudah gelap, tetapi masih terlalu siang untuk memulai main musik. "Apakah kita harus masuk dengan kardus-kardus ini?" tanya Chet. Kakek Stretch menggeleng. "Itu terlalu me-nyolok. Lagi pula sudah tak perlu penyamaran ini. Tempatnya gelap, dan kita pilih sebuah meja yang ada di sudut. Kita tinggalkan saja samaran kita di mobil." Mereka memasuki kelab itu, memilih meja yang terpencil lalu duduk untuk menikmati hidangan masakan creol yang pedas sambil menanti tempat itu menjadi penuh. "Tolong ceritakan lebih banyak lagi tentang Dubois," kata Frank setelah menghabiskan makanannya. "Ya," kata kakek itu. "Seperti yang sudah kukatakan, dulu ia dan aku sekali-sekali bekerja sama. Tetapi ia selalu ingin menjadi pusat perhatian. Selalu ingin memegang peranan utama." "Karena apa ia dipenjara?" tanya Frank. "Kurang jelas, tetapi kukira pencurian. Kami, kaum musisi pada waktu itu agak menjauh dari dia dan rombongannya." "Rupanya ia makmur juga sekarang," kata Chet, tangannya menunjuk ke sekelilingnya. Kakek Walker merengut. "Dulu tidak begini sebelum kelab-kelab lain di kota ini ditutup. Sekarang, tanpa saingan lagi, banyak orang yang lalu kemari." "Apakah Dubois sendiri main musik?" tanya Joe. "Ia bermain, memimpin dan memiliki sebagian besar dari kelab," si kakek menggerutu. "Akhirnya kesampaian juga apa yang selalu diingininya, menjadi yang paling top." Frank menghabiskan air sodanya, berusaha menghilangkan rasa pedas di mulutnya akibat masakan yang pedas. "Aku yakin, Dubois dan Stokes banyak bekerjasama," katanya. "Stokes membeli kelab-kelab di sekitar kota untuk menghilangkan persaingan, dan Dubois berusaha agar para pemilik kelab menjadi takut hingga terpaksa menjual milik mereka." "Kita harap saja ..." Joe hendak berkata, tetapi perhatiannya tertarik ke pintu depan. "Itu dia sekarang," katanya. Mereka menutup wajah mereka dan berhenti berbicara, ketika Dubois masuk ke kelab dan berjalan melalui pintu di belakang pentas. Sementara itu tempat itu mulai penuh dengan orang, dan tak lama lagi menjadi penuh sekali. Lampu-lampu dipadamkan. Hanya pentas yang diterangi ketika rombongan musik Dubois naik ke atasnya. Dubois sendiri mendapatkan lampu sorot, memperkenalkan para pemainnya dan memimpin mereka memainkan lagu pertama. Kakek Stretch memesan minuman dingin lagi sementara mereka mendengarkan dari sudut belakang ruangan. Frank dan Joe mengawasi orang-orang yang mengalir masuk dari pintu depan. "Itu Stokes!" kata Joe tiba-tiba yang melihat pengusaha real-estate itu masuk. Orang itu melangkah ke arah pentas dan duduk di meja yang tersedia di dekat bagian depan ruangan. Sementara ia duduk, lagu pertama selesai dimainkan. Beberapa menit kemudian musik dimulai lagi. "Lagu yang manis," kata Frank. Tubuhnya dicondongkan ke arah si kakek. "Lagu apa ini? Aku belum pernah mendengarnya." Kakek Stretch menyandarkan diri dengan bangga. "Aku yang menulis lagu itu, kira-kira empat puluh tahun yang lalu. Kalian tak banyak mendengarnya di bagian Utara sana, tetapi sekali-sekali masih dimainkan di daerah-daerah sini. Lagu itu mengenai tempat kelahiranku, di Delta Mississippi sana." "Aku senang!" kata Chet, jari-jarinya mengetuk-ngetuk menyertai irama lagu. "Aku sendiri juga senang," si kakek mengakui. "Kecuali, kenyataannya, bahwa Dubois yang menyanyikannya sekarang." Dubois, mengenakan kacamata hitam dan pakaian pesta, sedang memegang mikrofon. Bernyanyinya lebih mirip dengan berteriak-teriak, yang tidak cocok dengan semangat lagunya. Tiba-tiba senyum si kakek menghilang dari wajahnya. "Syair lagunya salah!" ia menggerutu marah. "Aku tidak menulis kata-kata itu! Ia telah merubahnya sama sekali!" "Barangkali ia tidak ingat syairnya," kata Frank mencoba menenangkan si kakek. "Tentu saja ia ingat! Ia bermain dengan band-ku ketika aku masih biasa menyanyikannya," pemusik itu membantah. "Kami paling sedikit sudah memainkannya seratus kali." Setelah nyanyian itu selesai, para pemuda itu hampir saja secara paksa harus mencegah kakek Stretch berteriak-teriak, hingga akan mengungkapkan kehadiran mereka. Pada saat itu pula Sedgwick Stokes berdiri dan keluar dari pintu, seolah-olah ia hanya ingin mendengarkan satu lagu itu saja. "Kita ikuti saja dia?" tanya Joe sambil bersiap untuk pergi. Frank seperti tenggelam dalam pikirannya dan tak menanggapi pertanyaan adiknya. Sesaat kemudian ia berpaling kepada si kakek. "Bagaimana digantinya kata-kata nyanyian itu?" "Yah," kata pemain trombon itu, tidak tahu apa yang dituju Frank di balik pertanyaannya. "Tidak semuanya berbeda. Hanya beberapa baris." "Yang mana saja?" tanya Frank. "Nanti dulu," kata si kakek, mengingat-ingat, kesalahan Dubois. "Satu bait seharusnya berbunyi..." Ia mulai menyanyi dengan suara sangat lirih: TUHAN, BAWALAH AKU KE HIDUP BEBAS, DI TEPI SUNGAI YANG MENGALIR KE SAMUDRA, AIRNYA JERNIH BAGAIKAN LANGIT BIRU, DAN AKU AKAN BERKELANA SELALU "Tetapi yang dinyanyikannya adalah sebagai berikut: TUHAN, BAWALAH AKU KE HIDUP BEBAS DI TEPI SUNGAI di old Belle Lee, Di sana menunggu perak dan emas, Di ruang terang bertangga kayu jati. Frank membunyikan jari-jarinya. "Aku yakin, kata-kata yang baru itu tentu merupakan suatu pesan kepada Stokes." "Pesan?" pikir Chet keras. "Betul!" jawab Joe yang mengerti jalan pikiran kakaknya. "Mungkin inilah kunci dari seluruh misteri ini!" 15. Raja Datang "Nanti dulu," kata Frank setelah memikirkannya dengan sungguh-sungguh. "Mengapa Dubois harus mengirim pesan dengan cara demikian kepada Stokes? Mereka 'kan berkongsi? Jadi dapat berbicara setiap waktu." Joe mengangguk. "Kau benar dalam hal ini." "Barangkali pesan itu untuk orang lain lagi, Dan Stokes datang kemari untuk meyakinkan bahwa yang harus menerima itu juga hadir agar dapat menerima pesan tersebut," kata Chet. Frank mengangguk. "Itu juga mungkin." Mereka membayar makanan dan minuman, kemudian keluar. Mereka kembali ke kelab kakek Stretch, memastikan dulu keamanannya sebelum masuk, kalau kalau gerombolan voodoo masih menunggu mereka di dalam. "Aku belum lelah," kata Chet. "Mari kita keluar menonton barisan karnaval." "Baik," kata Joe sambil tersenyum. "Mungkin kini sudah mencapai puncaknya." Merasa bahwa mereka telah cukup banyak menyelidik untuk hari itu, mereka mengambil topeng dari keranjang di dekat kassa, dan keluar meninggalkan kelab untuk menggabungkan diri dengan perayaan Mardi Gras. Perayaan itu meng-ikut-sertakan pula pertunjukan kembang-api yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi setempat. Jalan-jalan penuh dengan wisatawan, beberapa di antaranya mengenakan topeng dan pakaian karnaval, sementara beberapa lagi tidak. Suatu barisan karnaval sedang bergerak, dan banyak yang menari-nari mengikuti irama musik. Banyak kendaraan-kendaraan berhias meluncur di jalan besar, semuanya diterangi dengan lampu-lampu berwarna-warni. "Pemandangan yang indah sekali!" Chet tertawa-tawa sambil ikut berdesakan bersama kedua temannya ke barisan orang. "Kukira kembang-api akan dipasang di sana," kata Joe sambil menunjuk. "Tadi pagi aku melihat mereka menyiapkannya." Ketika mereka membelok di sudut, mereka melihat roda-roda raksasa berputar, menyemburkan bunga api ke udara, dan lilin-lilin Roma memancarkan cahaya ke langit. "Tunggu sebentar. Kalian dengar itu?" kata Frank tiba-tiba. Matanya terarah ke barisan karnaval. Chet dan Joe berhenti untuk mendengarkan. Di kejauhan terdengar teriakan-teriakan: Raja datang! Raja datang!" Mereka meninggalkan tempat kembang-api, dan bergegas menuju ke arak-arakan. "Barangkali Dubois naik kendaraan hias sebagai raja voodoo," Joe menduga-duga. "Aku tak tahu bagaimana itu mungkin," jawab Frank. "Ia ada di kelabnya. Kecuali kalau ia segera pergi." "Bukan raja voodoo sama sekali!" seru Joe ketika akhirnya mereka berhasil mendesak maju di antara orang banyak. "Itu Raja George!" "Benar," kata kakaknya, sambil mengintip di antara barisan orang banyak. Di jalan besar, di atas kendaraan hias yang dihias seperti kereta kerajaan, duduk seorang laki-laki di atas singgasana. Ia memakai rambut palsu putih berbedak, baju merah dan sebuah topeng tipis menutup matanya. Dari tempat duduknya ia melambai-lambai ke orang banyak. Banyak di antara mereka ikut berteriak: "Raja datang! Raja datang." "Bagaimana orang dapat tahu bahwa yang dimaksud adalah raja George?" tanya Chet. "Karena kendaraan hias itu ditulisi demikian," jawab Frank. Si gemuk berdiri di atas jari-jari kakinya, berusaha untuk dapat melihat lebih jelas. Akhirnya ia dapat melihat huruf-huruf emas yang berbunyi: RAJA GEORGE III DARI INGGRIS. "Haa, jadi Clem tidak bohong," kata Frank sambil berpikir. "Raja George benar-benar ikut perayaan Mardi Gras." Joe tertawa. "Kalau kau termakan teori pak sheriff, yang naik singgasana di sana itu tentu Clem sendiri. Tetapi dengan wig dan topeng begitu, bisa saja orang lain yang menjadi raja, termasuk ayah!" "Tetapi, kita dapat membatasi segala kemungkinan itu," kata Frank. "Yang jelas, aku harus tahu siapa orangnya itu." "Aku pun juga," adiknya menyetujui. "Barangkali beberapa di antara orang-orang ini dapat memberitahu." Sejumlah penonton di dekat mereka sedang bersenandung: "Raja datang! Raja datang!" sementara kendaraan berhias itu meluncur lewat. Salah seorang di antara mereka ada yang berpakaian sebagai Uncle Sam, berteriak-teriak seperti telah mengenal benar segala upacara itu. Frank bertanya kepadanya, siapa orang yang di atas kendaraan berhias itu. "Ah, itu," jawabnya mengatasi kegaduhan. "Raja George bangun setiap tahun dari rawa-rawa, khusus untuk menghadiri Mardi Gras. Sudah lima tahun aku selalu kemari, dan raja itu selalu hadir." "Nampaknya ia telah menjadi tokoh di sekitar sini," kata Frank, memancing informasi lebih lanjut. Tetapi orang yang berpakaian model Uncle Sam tak mau meneruskan percakapan. Ia mulai lagi membunyikan jari-jarinya dan menggerak-gerakkan kakinya menurut irama musik. "Mari kita tanya orang lain lagi," usul Joe. Mereka menerobos kerumunan orang, menanyai orang lain tentang si Raja George. Beberapa waktu kemudian, mereka menyadari bahwa tak ada yang tahu siapa yang menjadi raja di karnaval itu. "Yah, masih ada satu lagi yang dapat kita cari," kata Frank. "Ingat Pak Clem mengatakan bahwa ia telah membuntuti raja itu ke suatu pesta? Waktu itu aku belum memperhatikannya, kukira hanya buah lamunan atau khayalan Pak Clem saja. Tetapi sekarang aku mulai percaya, bahwa ia memang telah melihat raja itu, dan barangkali pesta itu memang ada!" "Kalau kita dapat mendahului kendaraan ini di tempat berakhirnya arak-arakan, mungkin kita dapat membayangi orang ini," kata Joe dengan gairah. "Ayo!" "Kalian saja yang pergi," kata Chet. Ia memang sudah mulai tertinggal karena kakinya telah capai. "Aku akan kembali ke kelab untuk duduk-duduk." Tanpa Chet, kedua pemuda itu dapat lebih cepat bergerak menyeruak di antara orang banyak. Mereka memperhitungkan, bahwa akhir arak-arakan tak akan lebih dari satu kilo lagi. Bila mereka dapat tiba di sana pada waktunya, mereka akan sempat menunggu Raja George turun dari kendaraan hiasnya. Tetapi ketika mereka tiba di sana, kendaraan itu telah tiba lebih dulu dan sudah kosong! "Yaaah," Joe menggerutu. "Kita terlambat!" Frank menjadi merah karena marah. "Nah, tentunya ada panitya di sini yang dapat memberitahu, siapa raja itu." Beberapa orang sedang sibuk bekerja di tempat akhir arak-arakan, memberi petunjuk-petunjuk kepada kendaraan-kendaraan hias dan rombongan pemusik. Kedua pemuda itu menghampiri orang yang rupa-rupanya bertanggung jawab atas hal itu. "Kami tak tahu siapa yang menjadi raja ini," katanya sambil memasukkan puntung cerutu ke mulutnya. "Barangkali engkau bisa menanyakan kepada organisasi yang mensponsori arak-arakan ini." "Yang mana itu?" tanya Joe. "Orang di Dinas Pertamanan mungkin akan dapat memberitahu kepadamu. Mereka yang membantu kelompok-kelompok untuk mempersatukan kegiatan mereka." Dengan kecewa mereka kembali ke kelab Jazz. Mereka mencari kakek Stretch, berharap dapat mengetahui dengan pasti apakah kata-kata nyanyian yang telah dirubah itu benar-benar merupakan suatu pesan sandi antara Dubois dan Stokes. Tetapi pemain trombone itu ternyata tidak ada. Frank menelepon Bayport. Ayahnya sedang keluar, dan ibunya menyarankan agar menelepon Sam Radley, pembantu ayahnya yang kini juga ikut menangani perampokan-perampokan tersebut. "Barangkali ada berita bagimu," ibu mengakhiri kata-katanya. "Terima kasih, Bu," kata Frank, kemudian menelepon Radley. "Aku menemukan sesuatu untukmu," terdengar suara Sam Radley gembira. "Salah seorang langganan Mann adalah Durby McPhee, yang tokonya mendapat giliran dirampok yang terakhir." "Durby McPhee?" tanya Frank. "Engkau sungguh-sungguh?'' "Sudah tentu," kata Radley. "Mungkin hanya kebetulan. Tetapi rupanya terlalu mencurigakan." "Terima kasih, Sam," kata Frank, lalu meletakkan gagang teleponnya. Ia mengatakan kepada Joe apa yang didengarnya dari Sam Radley. "Durby McPhee?" tanya Joe tidak percaya. "Ia menjadi salah seorang korban. Bagaimana ia dapat terlibat dalam perampokan?" "Yahh, mungkin Mann pencurinya, dan para penumpangnya tidak terlibat. Mungkin ia mengetahui bahwa McPhee mempunyai toko barang antik, lalu merampoknya." Joe menggeleng. "Aku tak tahu. Semuanya seperti sinting!" Kedua pemuda kembali ke kamar mereka, berharap dapat bertemu Chet. Tetapi si gemuk itu tidak ada di sana. "Aku heran, ke mana saja dia," kata Joe. "Kakek juga tidak ada pula." Pada saat itu pandangan Frank menangkap secarik kertas di atas tempat tidur. Ternyata sebuah surat, yang lalu dibacanya keras-keras kepada adiknya: KALAU INGIN MELIHAT PEMAIN DRUM YANG HEBAT, KEMBALILAH MENONTON KARNAVAL. CHET. "Pemain Drum yang hebat?" tanya Joe penuh ingin tahu. "Ayolah!" kata Frank. "Apa pun itu, aku tak ingin ketinggalan!" 16. Piknik yang Aneh Dengan melompat-lompat menuruni tangga, Frank dan Joe segera meninggalkan kelab dan kembali ke tempat arak-arakan. "Bagaimana dapat menemukan Chet di tempat yang seramai ini?" tanya Joe. Ia memandangi ribuan orang yang memadati jalan. Kakaknya tertawa. "Kita lihat saja arak-arakan. Aku punya firasat, Chet dan kakek Stretch ikut di dalamnya." Mereka menonton kendaraan-kendaraan berhias yang lewat dengan perasaan ingin-tahu semakin memuncak. Mereka tak perlu menunggu ter- lalu lama, ketika terdengar suara musik jazz dixie-land dari jalan. "Oo, itulah mereka!" teriak Joe penuh gairah. "Pemain drum yang hebat itu Chet sendiri!" Sambil berbaris dan memukul drum besar, Chet berjalan di depan rombongan musik kakek Stretch. Frank dan Joe hampir terjungkal karena tertawa, melihat temannya yang gemuk menikmati malam yang terindah sepanjang tahun ini. Mereka bersorak-sorak gegap-gempita ketika rombongan jazz itu lewat. Rombongan itu memainkan lagu "Swing low, Sweet Chariot," dalam versi cepat, dengan kakek Stretch sebagai solis pada trombon. Yang lain-lain mendapat giliran bermain solo, dan pada akhir lagu, dengan bait baru semua bermain bersama-sama lagi. Sementara itu, Chet memberikan irama dengan pukulan drumnya. Frank dan Joe berjalan mengikuti rombongan yang berbaris itu, sampai beberapa blok perumahan. Kemudian mereka melepaskan diri dari arak-arakan, kembali ke kelab kakek Stretch. "He, pemain drum yang hebat," kata Joe ketika akhirnya Chet menggabungkan diri kembali. "Dari mana kauperoleh drum itu?" "Itu kepunyaan kakek Stretch," jawab pemuda itu. "Ia dulu memainkannya ketika masih di SMA." "Bukankah ia mempunyai karir pemusik yang cerah di hari depan?" Kakek Stretch bersinar-sinar wajahnya ketika menggabungkan diri dengan para pemuda. "Ia nampak bagus sekali di arak-arakan tadi." Frank dan Joe menepuk-nepuk punggung temannya, kemudian mereka mengajaknya ke dalam dan naik ke atas. Di dalam kamar begitu sampai di tempat tidur mereka segera tertidur. Esok paginya mereka harus menerobos orang banyak untuk menuju ke Dinas Pertamanan. Namun mereka kecewa melihat kantor-kantor pemerintah tutup, bertepatan dengan hari Selasa Lemak-lemak. Frank menepuk dahinya. "Aku seharusnya sudah memikirkannya," katanya. "Aku sudah tahu, tetapi benar-benar lupa!" "Nah, itu lebih baik,' kata Chet. "Apakah kita tak keluar saja, melihat-lihat perayaan itu sejenak?" Mereka menonton sampai Frank berkata: "Ah, kita hanya membuang-buang waktu saja. Mari kita kunjungi Sedgwick Stokes. Mungkin suatu petunjuk lagi akan dapat terungkap." Chet melihat ke arlojinya. "Mungkin ia sedang makan, seperti yang sedang kita butuhkan." "Barangkali. Nah, mari kita coba." Ketika mereka sampai di kantor real-estate, pintunya tertutup. "Lihat? Sudah kukatakan," kata Chet. Frank mengangguk tanpa berpikir, matanya mengamati lantai lorong serambi. "Aku seperti melihat sesuatu ... nah, itu dia!" Ia kembali beberapa langkah dan memungut kertas yang telah diremas-remas menjadi bulatan. "Apa itu?" tanya Joe dan melihat dari pundak kakaknya. "Nampaknya seperti sebuah peta." "Mungkin tanda silang itu menunjukkan tempat di mana Stokes berada sekarang ini," Joe menduga. Frank mengangguk. "Menurutku, ini menunjukkan arah-arah keluar kota," katanya. Ia melipat kertas itu lalu dimasukkannya ke dalam saku. "Mungkin kakek Stretch tahu tempat itu," katanya. Ketiga pemuda itu meninggalkan kantor tersebut, kembali ke kelab. Kakek itu sedang berada di kantornya, mengisi suatu formulir. "Coba, apa yang dapat anda katakan tentang ini," kata Frank sambil meletakkan kertas itu di meja. Kakek itu memeriksa peta itu beberapa waktu lalu mendongak. "Ini menunjukkan jalan yang kita ambil dulu sewaktu ke warung Gumbo. Tetapi masih terus tiga-empat kilo lebih jauh lagi lalu ke jalan yang lain." "Bolehkah kami meminjam mobil anda sore ini?" tanya Joe. "Kami ingin menyelidiki tempat itu. "Silakan," kata si kakek sambil memberikan kuncinya. "Hanya saja, jauhilah segala kesulitan." Setengah jam kemudian ketiga pemuda itu bermobil melewati warung Gumbo masuk ke daerah yang berhutan lebat. Kemudian Joe mengemudikan mobil itu ke kiri memasuki jalanan berkerikil, menyusurinya sampai di suatu tempat di mana banyak mobil-mobil diparkir di dekat sebuah lapangan. "Wadow!" seru Chet. "Kita tiba di tempat benar!" Satu pesta kebun sedang berlangsung di lapangan, lebih seratus orang duduk mengelilingi meja-meja yang berasap memancarkan bau masakan yang lezat. Mereka turun dari mobil dan ikut menggabungkan diri pada orang-orang tersebut. "Ini sih surga!" seru Chet gembira sambil menengok ke kiri ke kanan. Periuk-periuk besar berisi udang menggelegak di atas api unggun. Ayam panggang dan daging iga memenuhi pang- gangan di atas bara arang, di samping periuk-periuk berisi ikan dan sayuran, beras dan cabe. "Tahan perutmu," Frank menggoda Chet. "Kita tidak diundang, jangan sembarang ambil makanan!" Pada saat itu juga, orang yang berada di samping panggangan melambai memanggil mereka. "Kalian nampak lapar benar," katanya dalam lafal creole yang medok. "Lekas ambil piring dan makanlah sebelum semua habis dimakan orang." "Nah, itu! Kita diundang," kata Chet sambil tersenyum lebar. Tanpa membuang waktu ia segera mengambil sebuah piring. Ia pergi dari meja yang satu ke meja yang lain, menumpuk tinggi-tinggi makanan di piringnya. Frank dan Joe juga mengambil makanan, tetapi agar lebih mirip seorang tamu dari pada kelaparan. Orang-orang di pesta itu berupa campuran berbagai orang. Banyak yang berbicara dengan lafal creole, suatu bahasa dari Haiti yang merdu yang berakar pada bahasa Perancis. "Aku ingin tahu apakah Stokes ada di sekitar sini," kata Joe sambil berjalan-jalan di antara orang banyak. "Itu orangnya," kata Frank kepadanya. Pengusaha real-estate yang bertubuh kecil itu sedang duduk pada salah satu meja dengan sekelompok orang. "He, salah satu dari mereka itu adalah yang memukul aku di kelab kakek Stretch, pada malam pertama kita di kota ini!" seru Joe. "Haa, jadi itulah rombongan orang-orang voodoo," kata Chet. "Barangkali lebih baik kita segera habiskan makanan kita, lalu pergi dari sini!" "O, tidak," kata Frank sambil tertawa. "Kita datang kemari untuk mendapatkan petunjuk, bukan? Kita tinggal dulu sebentar, mengamati burung-burung itu." "Lihat, orang yang kubuka kedoknya di kelab itu sedang berdiri," kata Joe. "Rupanya ia menuju ke dalam hutan!" "Chet, tinggallah di sini mengawasi Stokes," kata Frank. "Kami akan membuntuti orang ini, oke?" Chet kurang senang dengan tugasnya, tetapi kemudian ia berpikir, dengan tinggal ia dapat menghabiskan makanannya. "Oke, pergilah," katanya menyetujui. Sambil menjaga jarak yang aman dari orang tersebut, yang tubuhnya sedemikian besar hingga dapat melawan mereka berdua, Frank dan Joe mengambil jalan kecil yang memintas melalui semak-semak. Jalan kecil itu menuju ke suatu gudang tua yang jendela-jendelanya ditutup dengan papan. Gudang itu sebesar garasi yang besar, dan ketika orang itu membuka pintunya dan masuk ke dalam, Frank dan Joe dapat mendengar gemuruh orang-orang yang berteriak-teriak dari dalam. "Ada apa di dalam sana?" tanya Joe sementara mereka mendekat. "Aku tak tahu," jawab Frank, heran mendengar suara-suara keras tersebut. "Barangkali kita dapat mengintip dari celah pintu dan mengetahuinya." Kedua pemuda detektif itu dengan hati-hati berjalan ke sisi rumah. Kemudian mereka merangkak di sepanjang dinding, mengitari sudut rumah menuju ke depan. "Nah, inilah," Frank berbisik sambil memegang pintu dan menariknya terbuka beberapa senti. 17. Bernasib Baik Frank mengintip melalui pintu, kemudian cepat-cepat menutupnya kembali. "Banyak orang di sana," ia berbisik kepada Joe. "Mereka sedang menonton sesuatu di tengah-tengah kamar." "Apakah kaukira kita bisa menyelinap masuk tanpa diketahui?" tanya Joe. "Barangkali. Keadaannya cukup gelap, dan semua orang sedang tertambat pada apa yang sedang terjadi daripada memperhatikan yang lain." Kakak beradik itu menunggu hingga teriakan-teriakan itu sampai pada puncaknya, kemudian dengan cepat menyelinap dari pintu, lalu mende- kam di sudut kamar. Dalam beberapa saat pandangan mereka telah terbiasa dengan kegelapan. Di tengah-tengah ruangan ada sebidang kecil dari lantai yang dipagari, di mana ada dua ekor ayam jago sedang bertarung. Salah satu jago itu memakai rompi merah menyala, yang lain memakai topi tiga-sudut. "Sabung ayam!" bisik Frank kepada adiknya. Yang dimaksudkan ialah mengadu dua ekor ayam jago hingga bertarung mati-matian, suatu kesenangan orang yang telah kuno. "Kejam benar," kata Joe, sambil mengernyitkan hidungnya. "Tetapi mengapa pakai pakaian?" "Kukira, yang satu diandaikan sebagai seorang serdadu Inggris dan yang lain sebagai serdadu Revolusi Amerika." "Jadi seperti Rattlesnake Clem melawan Raja George," sahut Joe. Karena gairahnya, suara sedikit terlalu keras. "Barangkali memang ada kaitannya." "Mungkin engkau..." Frank hendak berkata, tetapi terhenti. Ia menunjuk ke dinding. "Lihat barang-barang itu!" Joe memusatkan pandangannya ke sebuah rak di dekat bagian belakang ruangan. Rak itu penuh dengan barang-barang perak. "Piala-piala!" bisik Joe. "Itu tentu hadiah bagi pemenang adu jago." "Kelihatannya bukan seperti piala biasa," kata Frank. "Kukira itu cangkir-cangkir perak yang dibuat lain bentuknya. Jangan-jangan barang curian. Aku akan melihatnya sebentar." Dengan merangkak pada tangan dan lututnya, ia menuju ke sisi jauh dari gudang, dan ia segera memeriksa hadiah-hadiah tersebut. Pada saat itu terdengar sorakan kemenangan akhir, dan sabung ayam selesai. Salah seekor ayam jago berjalan angkuh mengelilingi bagian dalam dari pagar. Yang seekor lagi tersungkur mati berlumuran darah. Uang mulai berganti pemilik berpindah dari tangan ke tangan para pemenang taruhan. Seorang peserta keluar dari kerumunan dan berjalan menuju ke tempat piala. "He! Itu ada salah seorang anak yang tinggal pada Stretch!" ia berteriak. "Cepat! Tangkap dia!" Sebelum Frank mendapat kesempatan untuk mengundurkan diri, tiga orang menangkap dia lalu mengikatnya. "Itu yang satu lagi!" terdengar teriakan dari orang-orang di sekeliling tempat adu jago, ketika Joe melompat lari ke pintu. Pemuda pirang itu sudah setengah jalan ketika beberapa orang menyergapnya. Joe berusaha untuk melepaskan diri, tetapi segera kalah tenaga. Dubois melangkah keluar dari kegelapan dan menghadapi kedua pemuda detektif. "Kalian memang tidak tahu kapan harus berhenti!" Ia tersenyum jahat. "Yah, seperti pepatah mengatakan, karena ingin tahu si kucing mati." Senyumnya nampak semakin lebar ketika suatu pikiran menyelinap di benaknya. "Masukkan mereka di arena," ia memerintah. Gelak-tertawa meledak di antara orang-orang. "Masukkan ke arena!" beberapa orang berteriak, segera mengerti maksud pemimpinnya. Frank dan Joe didorong-dorong masuk ke arena tempat adu jago. "Aku bertaruh untuk si pirang!" teriak salah seorang. "Aku pegang yang lain!" seru seorang lagi. Frank menatap Dubois. "Kaukira kami akan saling berkelahi?" "Ya," kata Dubois. Senyumnya tak meninggalkan wajahnya. "Sebab kau tak punya pilihan lain. Harap kautahu, kalau kalian tak mau berkelahi, tak seorang pun dari kalian yang dapat keluar hidup-hidup dari sini. Kalian harus berkelahi hingga salah satu knock out. Dan aku akan tahu kalau kalian mencoba untuk berpura-pura!" Kedua pemuda itu ternganga tak percaya. Mereka sebelumnya pernah harus berjuang untuk keluar dari keadaan yang berbahaya, tetapi belum pernah mereka berkelahi satu sama lain! Setelah taruhan-taruhan ditetapkan, Dubois membunyikan bel tanda pertarungan dimulai. Dengan segera Frank melompat menerkam adiknya dan menjatuhkannya ke lantai! Sorakan gemuruh mengikuti pergumulan mereka di tanah. "E, jangan begitu kasar," bisik Joe di telinga kakaknya, sementara mereka bergumul rapat, hingga orang-orang tak mendengarnya. "Sorry, ya. Aku harus berkelahi sebaik mungkin," kakaknya balas berbisik. "Mereka tak hendak melepaskan kita, biarpun kita sudah berkelahi." "Aku tahu." "Nanti kalau aku berteriak "polisi", kita lari ke pintu. Itulah satu-satunya kesempatan kita." "Oke." Frank dan Joe lepas dari pergumulan lalu berdiri. Joe melayangkan swing kepada kakaknya, tetapi Frank menangkis dengan lengannya. Kemudian Frank berpura-pura memukul perut adiknya, dan Joe berpura-pura membungkuk kesakitan. Tiba-tiba saja Frank berhenti berkelahi, tangannya menuding salah seorang penonton. "Aku kenal kau!" ia berseru. "Kau agen yang menya- mar!" Anggota-anggota komplotan lainnya menoleh mengancam kepada orang itu. Orang itu mengangkat tangannya kebingungan. "Agen yang menyamar? Aku tak mengerti apa yang kau ...." "Ya, memang! Kulihat engkau di kantor polisi, bercakap-cakap dengan Pak Lloyd. Kau informan polisi!" Melihat orang-orang sudah mendekati keadaan hiduk-pikuk, Frank dan Joe melompat keluar dari arena dan berlari ke pintu. Salah seorang penjahat berhasil menangkap lengan Joe di depan pintu, tetapi pemuda itu membalasnya dengan pukulan upper cut ke rahangnya. Dan kali ini bukan hanya berpura-pura! Sebelum yang lain-lain sempat menjawab, kedua pemuda itu telah lari dari gudang, kembali menyusuri jalan kecil ke tempat pesta kebun. Chet sedang menghadapi piringnya yang ketiga ketika kedua temannya datang. "Dari mana saja kalian?" tanya si gemuk. Ia heran melihat Frank dan Joe tersengal-sengal napasnya. "Sudahlah," kata Frank. "Kita harus keluar dari sini sekarang juga." Menyadari bahwa amat penting, Chet meletakkan piringnya dan ketiga pemuda itu lari sekencang-kencangnya ke mobil kakek Stretch. Frank duduk di belakang kemudi dan mereka berangkat sebelum para pengejar tiba. "Uwwahh!" seru Chet, menatap orang-orang yang marah dari kaca belakang. "Ada apa semua ini?" Dengan singkat Frank dan Joe memberitahu kepadanya tentang apa yang terjadi. Kemudian Joe bertanya kepada kakaknya: "Apakah kau menemukan petunjuk dari rak itu?" "Barang-barang itu bukan piala kemenangan," kata Frank kepadanya. "Paling tidak, bukan yang biasa seperti hadiah untuk juara pertandingan atletik. Itu adalah barang-barang perak murni, dan beberapa di antaranya terukir nama dan tanggal. Mudah diperiksa kalau kalau barang curian." "Kita mampir saja ke kantor polisi," Joe menyarankan. "Barangkali daftar yang kita berikan kepada pak komandan itu menyebutkan satu atau dua dari barang-barang itu." "Kukira begitu," kata Frank. Kemudian ia merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan sesuatu seperti secabik kain. "Coba terka, apa ini!" Joe menerima kain tersebut dan mengira-ira sejenak. "Apa ini?" Frank menyeringai. "Kuberi engkau sedikit gambaran: Ini adalah jawaban dari misteri yang belum dapat kita pecahkan sebelum kita berangkat dari rumah." Sekarang Joe semakin tak mengerti. Ia menatap kepada kain itu, memeriksa bagaimana tenunannya serta cara jahitannya. "Ini sobekan kaus kaki," katanya. "Apa artinya ..." Tiba-tiba matanya bersinar. "Ini milik ayah!" Kedua pemuda itu mengenali kaus kaki itu bukan saja dari polanya yang khusus, tetapi juga dari setitik cat kuning yang telah kering di dalam bahannya. "Memang ini kaus kaki ayah," Frank membenarkan. "Ia telah mengecat serambi beberapa minggu yang lalu." "Tetapi bagaimana dapat sampai di tempat menyabung ayam di pinggiran kota New Orleans?" tanya Joe dengan heran. Frank menjadi bersungguh-sungguh. "Di rak itu, di samping barang-barang lainnya terdapat juga beberapa boneka-boneka voodoo. Ketika aku melihat salah satu yang diberi pakaian seperti kaus kaki lalu kuambil dan kumasukkan ke dalam saku." Joe menggeleng-gelengkan kepalanya, hampir tak percaya bahwa kaus kaki ayahnya telah dicuri untuk boneka voodoo. "Kalau begitu ada orang yang hendak mengguna-gunai ayah!" "Betul," Frank membenarkan dengan muram. "Apa yang tak dapat kumengerti, salah seorang dari mereka telah menyelinap masuk ke rumah kita dan mencurinya." "Durby McPhee!" seru Joe. "Ia berada di kamar kerja ayah, sore-sore sebelum kaus kaki itu hilang." "Ia minta permisi sebentar ketika kita sedang membicarakan cara mengawasi tokonya dengan ayah, ingat?" sambung Frank dengan gairah. Kakak beradik itu menjadi bertambah bingung. Mengapa salah seorang korban pencurian mau mencuri kaus kaki untuk boneka voodoo, sungguh sulit dimengerti. Namun, ini adalah untuk yang kedua kali bahwa McPhee menjadi sasaran kecurigaan. "Aku mulai mengira bahwa misteri-misteri ini saling berkaitan," Frank melanjutkan. "Lebih dari suatu kebetulan bahwa perkara voodoo dan perkara perampokan itu kedua-duanya berarah ke New Orleans." Dengan semua petunjuk yang kaudapat akhir-akhir ini, aku yakin bahwa kau memang benar," sahut Chet. Sementara mereka melanjutkan perjalanan, dengan perlahan-lahan mereka mulai menyadari bahwa mereka telah tersesat. Dalam keadaan tergesa-gesa pergi dari tempat pesta kebun, Frank salah mengambil tikungan ke jalan besar. Setelah berputar-putar beberapa saat, mereka melihat suatu papan nama yang menunjukkan jalan ke kota dengan jalan lain. "Ini benar-benar jalan kuno," kata Chet. Ia melihat keluar ketika mereka melewati rumah-rumah besar yang terlindung pohon-pohonan, yang rupa-rupanya sudah lama tidak dihuni.' "Hanya sedikit orang pada zaman sekarang yang mampu merawat rumah-rumah ini," kata Frank. "Barangkali saja aku akan menjadi kaya kelak, dan aku akan pindah kemari untuk pensiun." Joe tertawa dan melihat-lihat tanpa tujuan ke sekitar. "Itu ada satu rumah yang masih dihuni," katanya, menunjuk ke pekarangan rumah yang sangat besar yang mereka lewati. Tempat itu nampak sibuk. Pekerja-pekerja ada di luar, memotong semak-semak dan petak-petak rumput. Gorden sedang dipasang pada jendela-jendela. Dua orang sedang membawa tempat lilin dari kaca yang besar melalui pintu depan, dan kardus-kardus berserakan di seluruh tempat. "Rupanya ada orang yang ingin hidup mewah," kata Chet, terkesan akan kemewahan yang dipertontonkan. "Hentikan mobil!" seru Joe tiba-tiba. "Mengapa?" tanya Frank, khawatir mendengar teriakan Joe. "Berhentilah!" Frank menginjak rem dan menepikan mobilnya ke pinggir jalan, sedikit melewati rumah tersebut. Kemudian, atas permintaan adiknya, ia memundurkan mobilnya sampai di dekat jalan masuk ke halaman. Joe menunjuk ke papan nama dari perunggu yang terpampang pada tembok pagar depan. "Itulah yang kulihat tadi!" "Belle Lee!" seru Chet, sambil membacanya keras-keras. "Rumah inilah tentu, yang disebut Belle Lee oleh Dubois dalam nyanyiannya!" Frank memutar kendaraannya dan masuk ke halaman. Ia juga bertanya-tanya dalam hati apakah ini tempat yang disebut dalam kata-kata lagu kakek Stretch oleh Dubois. "Kalau kata-kata itu memang suatu pesan," katanya, "kita mungkin akan menemukan sesuatu di sini." Setelah mobil berhenti di depan pintu, mereka keluar. "Ada orang yang pindah kemari?" tanya Frank kepada salah seorang yang sedangan mengangkut sebuah peti ke dalam. "Tidak tahu," jawab orang itu. "Apa yang kuketahui hanyalah ada pesta Selasa Lemak-lemak di sini nanti malam. Pesta dansa bertopeng!" 18. Pesta Dansa Bertopeng Pada saat itu muncul seorang di pintu. Orangnya kurus, tetapi wajahnya bulat datar, hingga seolah-olah seperti sebuah bola di atas sebuah tongkat. "Ini tanah pribadi," kata orang itu kepada mereka dengan kasar. "Maaf," kata Frank. "Kami sedang melihat-lihat di daerah ini. Ketika kami melihat apa yang terjadi di sini, kami ingin mampir. Rumah ini besar dan rapih, maka kami mengira dapat meli-hat-lihatnya." "Tidak boleh melihat-lihat!" kata orang itu sambil memandang marah kepada mereka. "Salah seorang pekerja itu mengatakan, bahwa akan ada pesta di sini," kata Joe, mencoba untuk dapat memperpanjang pembicaraan. Orang itu memandang tajam kepada mereka. "Apakah aku harus melemparkan kalian keluar? Sudah kukatakan kalian harus pergi, dan aku berkata sungguh-sungguh." Pada waktu itu salah seorang pekerja melongok dari pintu depan. "Tempat minuman ini harus diletakkan di mana, Pak Mann?" ia bertanya. "Di sudut ruang dansa," jawabnya dengan cepat. Tiba-tiba sesuatu merekah di benak Frank dan Joe, bahwa mereka telah berbicara dengan Roger Mann, pilot Cessna biru! Joe hendak membuka mulutnya, tetapi Frank memberinya isyarat dengan matanya agar jangan berbicara. Kedua pemuda itu pergi tanpa berkata-kata lagi. "Orang itu Roger Mann!" kata Joe setelah naik mobil kembali. "Akhirnya kita bertemu dia, tetapi engkau hendak pergi tanpa bertanya apa-apa?" "Betul," kata kakaknya. "Kukira kita telah tanpa sengaja bertemu dengan kunci misteri ini, dan aku tak ingin semuanya menjadi buyar!" "Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Chet. "Kita mencari pakaian pesta bertopeng, ikut berpesta malam ini." Joe membunyikan jari-jarinya ketika mengetahui apa yang dipikirkan kakaknya. "Raja George hendak berpesta dansa bertopeng di Belle Lee!" "Betul," Frank tersenyum menyeringai. "Jadi Rattlesnake Clem memang benar!" Chet menyimpulkan. "Raja George memang ada, dan ia akan membuat pesta lagi!" "Begitulah rupa-rupanya," kata Frank sambil membawa mobil kakek Stretch kembali ke jalan. "Barangkali dialah penumpang pesawat Roger Mann itu." "Berarti, ia tidak mungkin Rattlesnake Clem," kata Chet. "Sebab ia masih ada di penjara ketika pesawat meninggalkan Swamp Creek." "Ini juga berarti bahwa Dubois beserta rombongan voodoonya memang terlibat dalam tokoh Raja George itu," sambung Frank. Setelah mereka tiba di kota bagian bawah dari New Orleans, mereka pergi ke kantor polisi dan melaporkan apa yang mereka pergoki di tempat menyabung ayam. "Kau menduga bahwa barang-barang itu adalah hasil curian dari toko-toko antik?" tanya Pak Lloyd. "Aku melihat beberapa barang perak yang mungkin cocok dengan yang ada di daftar yang kami berikan kepada anda," kata Frank. "Oke. Berikanlah arah-arahnya ke tempat itu." Frank menyebutkannya, namun meminta kepada komandan polisi itu agar jangan menyerbu dulu. Setelah diperbincangkan sejenak, perwira polisi itu menyetujui. "Oke, karena kalian anak-anak Fenton Hardy, aku akan mengikuti rencanamu dan menunggu hingga besok pagi. Tetapi kalau kalian bertemu dengan pencuri-pencuri itu, segera telepon aku!" Mereka berjanji, lalu pergi. Mereka kembali ke kelab kakek Stretch, dan menceritakan kepada pemain trombon itu apa yang telah mereka ketahui. Kemudian mereka mulai menyiapkan pakaian pesta dansa untuk malam nanti. "Bagaimana rupaku?" tanya Chet. Ia berpakaian seperti seorang syech Arab. "Mempesonakan dan terlalu banyak makan," Frank menggoda. "Kami bagaimana?" Kedua pemuda itu memakai wig berbedak dan kemeja-kemeja berlipat yang diambil dari laci kakek, dari persediaan pakaian pesta Mardi Gras. Mereka juga memakai topeng hitam seperti yang dipakai Raja George pada arak-arakan. "Hebat!" Chet tertawa melihat penyamaran mereka. Ketiga pemuda itu makan dan membuat rencana bagaimana mereka dapat masuk tanpa diketahui. Setelah membicarakan beberapa alternatip, akhirnya Frank berdiri. "Sudah waktu," katanya sambil melihat ke arlojinya. "Mari kita berangkat." Mereka mengenakan bagian-bagian terakhir pakaian penyamaran mereka, dan sekali lagi menggunakan mobil kakek Stretch menuju ke Belle Lee. Frank memarkir mobilnya di pinggir jalan, agak jauh dari rumah besar itu. Mereka mengenakan topeng, lalu berjalan memutar melalui hutan sampai tiba di belakang rumah. Rumah besar itu penuh orang berpakaian macam-macam; banyak pula yang berjalan-jalan santai di halaman. Ketiga pemuda itu melihat beberapa orang keluar-masuk dari pintu belakang. "Mari kita menyelinap dari pintu itu," Joe mengusulkan. "Jangan buru-buru," kakaknya memperingatkan. "Ada orang yang menjaga pintu itu." Setelah mengamati lebih teliti, Joe melihat bahwa salah seorang yang berpakaian pesta berdiri di sisi pintu, mengawasi orang-orang yang keluar-masuk. "Kita harus menggunakan pancingan, seperti yang telah kuduga," kata Frank, lalu berpaling kepada Chet. "Inilah kesempatanmu untuk menunjukkan apa yang dapat kaulakukan." Pada pembicaraan mereka yang terdahulu, Chet mengajukan diri untuk menjadi umpan pancingan kalau perlu, untuk mengalihkan perhatian dari Frank dan Joe; tetapi sebenarnya Chet berharap bahwa hal itu tidak perlu. "Apa yang harus kulakukan?" Chet bertanya ragu-ragu. "Sederhana saja," kata Joe. "Engkau mendekati pintu. Kalau penjaga itu melihat engkau, larilah. Kita bertemu lagi di mobil." Dengan setengah hati Chet berjalan lambat-lambat mengitari petak rumput menuju ke pintu. Frank dan Joe mengambil arah lain, kemudian memutar kembali ke arah pintu di arah yang berlawanan. Akhirnya penjaga itu melihat Chet juga. Ia mengawasi dengan tajam sementara pemuda berpakaian syech itu semakin dekat. "He, kamu!" penjaga itu berteriak. "Mana surat undanganmu?" Chet tak membuang-buang waktu lagi! Sambil mengangkat jubahnya setinggi lutut, ia lari masuk ke hutan. Penjaga itu sangsi sebentar, tidak merasa pasti untuk meninggalkan tempatnya. Kemudian, setelah memikirkan masak-masak, ia melompat lari mengejar. "Kuharap saja ia tak dapat menangkap Chet," Joe menggumam. "Jangan khawatir," kata Frank. "Ia tak akan lama-lama meninggalkan tempat tugasnya, dan Chet bisa cepat kalau ia mau." Setelah mereka berada di dalam, Frank dan Joe berbaur dengan para pengunjung yang lain. Ruangan dansa dihiasi dengan perabotan model daerah selatan, lukisan-lukisan kerajaan Inggris tergantung di sepanjang dinding-dinding. Sebuah kwartet alat gesek memainkan musik wals sementara beberapa tamu berdansa. Banyak yang berpakaian model bangsawan Inggris dari abad delapan belas. Yang lain-lain berpakaian berbagai macam yang biasa dikenakan pada perayaan Mardi Gras, tetapi semua orang mengenakan topeng. Raja George sendiri duduk di singgasana pada ujung ruangan dansa. Setelah beberapa menit ia berdiri dari singgasananya, lalu meninggalkan ruangan dansa. Kedua pemuda mencoba untuk mengikuti dia, tetapi pada saat mereka sampai di gang serambi, raja itu lenyap. "Ke mana ia pergi?" kata Joe dengan kecewa. Frank mengawasi sejenak gang di serambi itu, mencari-cari tanda kehadiran raja. Akhirnya pandangannya tertambat pada sebuah tangga yang menuju ke lantai dua. "Ingat kata-kata Dubois pada lagu kakek Stretch?" katanya dengan gairah. "Ya," jawab Joe. "Bunyinya: 'Di sana menunggu perak dan emas, di ruang terang bertangga kayu jati'." Joe menunjuk. "Tetapi tangga itu bukan dari kayu jati." "Aku tahu," kata kakaknya dengan cepat. "Tetapi aku yakin, di sana tentu ada tangga kayu jati." Mereka menuju ke arah yang saling berlawanan, mencari-cari di seluruh lantai pertama. Karena tak menemukan apa-apa, mereka berkumpul kembali di serambi. "Tidak ada apa-apa," kata Joe. "Mari kita ke atas." Lantai kedua dalam keadaan sepi, dan kamar-kamarnya kosong, tak ada orang maupun perabotannya. Frank dan Joe sekali lagi mencari tangga kayu jati seperti yang disebut dalam nyanyian Dubois. "Aku telah menemukannya," kata Frank tiba-tiba dari balik sudut. Joe yang sedang memeriksa kamar-kamar, di arah yang berlawanan, mendatangi kakaknya pada kaki sebuah tangga sempit berputar dari kayu jati. "Betul, inilah dia," ia berbisik dengan tegang. Dengan hati-hati agar jangan bersuara, kedua pemuda itu merayap naik ke tangga. Suara-suara terdengar dari balik sebuah pintu kecil, dan kedua pemuda itu berhenti untuk mendengarkan. "Semua yang ada di meja ini milikmu, Stokes," kata seseorang. "Dubois, itulah kepu-nyanmu. Engkau boleh membagi-bagikannya dengan anak buahmu menurut kehendakmu sendiri." "Dan aku mendapat apa?" tanya seseorang. "Aku akan membayarmu kalau sudah kembali ke Bayport, Roger," terdengar jawabannya. "Kedengarannya si Raja sedang membagi harta rampasan," bisik Frank. "Nah, sekaranglah waktunya untuk menangkap mereka," bisik Joe kembali. "Jangan," kata kakaknya memperingatkan. "Paling sedikit ada empat orang lawan kita berdua. Kita tak dapat melawan." "Kalau begitu kita panggil polisi, saja," kata Joe. "Ya, dan kita harus segera bertindak dengan cepat. Pihak polisi..." Kata-kata Frank terputus, ketika pintu tingkap kecil terbuka dengan mendadak! 19. Pergumulan di Loteng Sebelum kedua pemuda itu sempat berbuat sesuatu, tangan yang kuat mencengkeram leher baju Joe dan menariknya masuk ke dalam kamar! "Anak-anak itu lagi!" Dubois menyumpah. Ia melemparkan Joe ke lantai. Frank melompat ke dalam kamar, kakinya terayun menjegal pemimpin voodoo. Tetapi sedetik kemudian semua orang telah menyerbu kedua pemuda, dan kedua pemuda itu terpantek diam di lantai. Kamar loteng itu penuh sesak dengan barang-barang curian. Peti-peti berisi barang perak, lampu-lampu yang mahal dan jambangan bunga, lukisan-lukisan dan barang-barang lainnya memenuhi lantai dan meja-meja. "Polisi akan segera kemari sebentar lagi!" Joe menakut-nakuti para pencuri itu. "Kalau mereka datang, mereka takkan menemukan apa-apa, termasuk kalian!" si Raja itu mendesis. Pemuda itu menatap orang bertopeng itu, yang. berdiri di atasnya dengan sikap mengancam. Meskipun bertopeng, si Raja itu seperti sudah dikenal oleh Joe. Pemuda detektif itu memeras otaknya mengingat-ingat di mana ia telah melihat dia sebelumnya. Frank ditekan oleh Roger Mann dan Sedgwick Stokes di lantai, dipegangi erat-erat. Kedua orang itu menunggu perintah tindakan apa yang harus dilakukan terhadap pemuda itu. Namun, pada saat itu juga, jendela loteng disingkap terbuka dan beberapa ular beludak diamondback terlempar masuk ke dalam! "Pak Clem!" seru Frank, sementara orang tua itu mengayunkan tubuhnya masuk dari lubang jendela. Ia memakai jaket kulit rusa dan topi tiga-sudutnya bertengger di kepala. Untuk membuat suasana lebih dramatis lagi, si tua itu memekik membekukan darah! Sambil melompat-lompat menghindari ular, orang-orang itu melepaskan kedua orang tang- kapannya. Frank dan Joe segera berdiri dan bersiap-siap untuk berkelahi. "Haaa, kita bertemu lagi," kata si Raja kepada pak Clem. "Hanya saja kali ini engkau tak dapat lolos, Clemson!" "Akulah si Rubah Rawa!" orang tua itu melenguh. "Aku datang untuk merampas kembali pajak yang menjadi hak koloni-koloni!" "Ini yang kedua kali engkau mengacau pestaku. Aku akan menghabisinya!" "Kita lihat saja!" seru pak Clem. Ia melompat menerkam si Raja, tangannya memegang seekor ular. Tak seorang pun dari para penjahat itu yang mau menyerah tanpa berkelahi. Maka beberapa saat kemudian, kamar loteng menjadi kancah perkelahian. Tinju saling berlayangan, sementara orang-orang sambil berkelahi harus menghindar pula dari pagutan ular! Joe segera dapat melumpuhkan Stokes dengan tinjunya yang mendarat di rahang, tetapi Dubois ternyata merupakan lawan yang lebih alot. Sementara itu Frank menghadapi Roger Mann, yang ternyata juga sangat kuat. Tiba-tiba Chet muncul di pintu, masih tetap sebagai syech Arab. Melihat bahwa Joe menghadapi lawan yang berat, ia melompat maju dan mulai mengayunkan tinjunya. Karena perlawanan menjadi berat bagi para penjahat, mereka lalu mencoba meloloskan diri dan hendak keluar dari pintu. Tetapi setiba di pintu, Pak Lloyd beserta anak buahnya sudah menghadang di atas tangga! "Inilah pencuri-pencuri itu!" seru Frank kepada para anggota polisi. "Bukti-bukti sudah ada di sini semua!" Tak makan waktu yang lama, polisi telah meringkus para penjahat. Pak komandan menyuruh mereka kembali ke kamar loteng. Di sana ia mengamati barang-barang curian tersebut. "Kami akan memeriksa barang-barang ini di kantor," katanya. "Tetapi aku yakin telah menangkap penjahat yang sebenarnya. Untunglah Chet memberitahu kami. Ia menjadi gelisah setelah kalian tak muncul-muncul." "Aku tak mencuri satu pun dari barang-ba rang ini," Stokes membantah. Ia sudah pulih dari pukulan Joe yang mengenai rahangnya. "Roger Mann dan si Raja yang membawa semuanya itu ke mari." "Ada hukum yang melarang berdagang barang-barang curian," kata Pak Lloyd kepadanya. "Baik yang kaucuri sendiri atau tidak." Frank melangkah maju mendekati si Raja. "Aku sudah ingin melakukan ini sejak beberapa hari lalu," katanya, tangannya menarik topeng dari wajah orang tersebut. "Durby McPhee!" ia tertegun, mengenali pemilik toko antik berambut merah itu. "Aku hampir tak percaya!" McPhee memandanginya dengan marah. "Kalau begitu janganlah percaya!" "Mengapa anda merampok toko anda sendiri?" tanya Joe. "Dan untuk apa segala Raja George ini semua?" McPhee marah sekali. "Pikirlah sendiri," katanya, kemudian ia mulai menyumpah-serapah. "A - aku tahu semua," Stokes menggagap. "Apakah aku dapat keringanan kalau aku menceritakannya?" "Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa," kata komandan polisi. "Tetapi aku anjurkan agar kau mengatakan yang sebenarnya." Ia membacakan hak-hak si makelar real-estate. Hampir menjadi panik, Stokes sangsi sebentar, kemudian sambil menuding McPhee ia berkata: "Dia ... dialah pencuri besar itu. Ia merampok beberapa toko barang antik ... toko-toko yang ia tahu memiliki barang-barang yang bagus." "Tutup mulutmu!" teriak McPhee menggeledek. Tetapi Stokes tak dapat direm lagi. Orang itu menggigil ketakutan dan apa yang dapat dilaku- kannya hanyalah agar ia dapat dibebaskan dari segala kesulitan. "Tetapi mengapa ia merampok tokonya sendiri?" tanya Joe. "Ia mengatakan kepadaku, bahwa ia menjadi gelisah ketika ayahmu mulai menangani perkara itu. Kemudian ia mendapat akal yang bagus untuk menjerumuskan Clem. Engkau tahu, Clem telah membuntuti dia tahun lalu, setelah arak-arakan. Si tua sinting itu menganggap bahwa McPhee adalah Raja George yang memungut pajak terlalu berat pada rakyat. Pokoknya, Clem mengacau pesta kami dan menimbulkan banyak kesulitan. Banyak makan waktu bagi Durby untuk mengetahui tempat tinggalnya. McPhee takut kalau-kalau Clem dapat membuat bahaya besar baginya karena terlalu banyak mengetahui. Durby mencoba menangkapnya, tetapi ia dapat meloloskan diri." "Apakah Pak Clem tahu siapa sebenarnya Raja itu?" "Aku sangsi. Setelah ia mengacau pesta, kami mengejarnya dan berjaga-jaga. Tetapi ia tidak kembali. Tetapi Durby ingin benar-benar pasti bahwa Clem tak akan bicara." "Karena itu ia ingin menyingkirkan Pak Clem?" tanya Joe. Stokes mengangguk. "Ketika ia mengetahui bahwa ayahmu melibatkan diri dalam perkara ini, ia mendapatkan akal yang bagus untuk menjerumuskan Clem. Hal itu akan melenyapkan si pengacau itu dan sekaligus menyesatkan jejak bagi ayahmu." "Tutup mulut! Sudah kukatakan kepadamu!" teriak McPhee. Tetapi Stokes hanya mengangkat bahu. "Aku mengerti sekarang," kata Frank. "McPhee terbang ke Georgia dan membawa kembali beberapa ekor ular Pak Clem. Ia meminta agar kami mengawasi tokonya. Kemudian ia datang sendiri, mengenakan topi tiga-sudut dan membawa ular-ular tersebut dengan sebuah karung." "Betul!" sambung Joe. "Ketika kami membayangi dia ke tempat parkir dan tak menemukan dia, sebenarnya ia ada di dalam tokonya! Itu sudah tentu, sebab ia yang mempunyai kuncinya. Kemudian ia membuka jendela." Frank mengangguk. "Jadi kami berlari berlawanan arah, sementara McPhee keluar dari pintu depan, membiarkannya terbuka agar polisi melihatnya, meletakkan ular-ular itu ke dalam mobil kami lalu pulang! Wah, kita sungguh tertipu!" "Ia talyu bahwa kami pergi menonton karnaval," Joe menyambung, "sebab kami mengatakan padanya ketika ia datang ke rumah kami. Maka ia meletakkan botol minyak ular di dalam karung agar kami temukan di dekat tokonya. Hal ini, menurutnya, tentu akan membingungkan kami, hingga mungkin kami akan mencurigai seseorang di karnaval. Jadi apa yang ia lakukan hanyalah membayar pawang ular agar mau mengarahkan pengusutan kami ke Pak Clem." "Hebat! Pintar sekali!" kata Chet. Frank mengangguk. "Ketika kami sedang hangat-hangatnya melacak Pak Clem dan terbang ke Savannah, ia menyuruh Roger Mann agar menerbangkan dia ke Swamp Creek dan menaruh pakaian raja dan barang-barang dari tokonya sendiri di dalam garasi Pak Clem. Tak sangsi lagi, tentu dia yang menulis surat palsu kepada Rick, sebab ia beranggapan, semakin lama kami tersesat di rawa-rawa semakin baik baginya!" Chet tertawa. "Untuk lebih membingungkan orang, ia berjalan-jalan di sekitar rawa-rawa dalam pakaian Raja George agar orang-orang melihatnya." "Itu tentu saja semakin menebalkan kepercayaan Pak Clem tentang Raja," kata Joe. "Ketika Pak Clem ditangkap, McPhee ingin merasa pasti bahwa Pak Clem dikira benar-benar sinting, hingga tak seorang pun yang mau mempercayainya kalau-kalau ia menceritakan sesuatu tentang pestanya di New Orleans." "Itulah yang membawa kami kembali ke hal ini," kata Frank. Ia menunjuk ke barang-barang dagangan di ruang itu. "Apa saja semua ini, Pak Stokes?" "Dubois dan aku menyewa tempat ini untuk sebulan dan mengatur pesta ini. Semua orang tahu bahwa pesta akan diselenggarakan di daerah ini pada malam Selasa Lemak-lemak, tetapi belum tahu rumah yang mana. Maurice menyanyi di kelab pada sutu malam khusus dalam perayaan Mardi Gras, maka orang-orang yang diminta datang akan tahu di mana tempatnya." "Maksud anda, tahun lalu pesta dansa bertopeng ini diselenggarakan di tempat lain?" "Begitulah. Kami tak dapat memperoleh tempat itu lagi dengan sewa jangka pendek, karena itu lalu mengambil yang ini." "Mengapa mengadakan pesta begini?" tanya Frank. "Itu ada maksud ganda," Stokes melanjutkan. "Siang sebelumnya, McPhee dan para penyalurnya memeriksa seluruh barang curian dan merencanakan siapa-siapa yang harus menjual barang tertentu dan di mana menjualnya. Kemudian ia menjamu mereka dan teman-teman lainnya dengan sebuah pesta, di mana ia membayar aku dan Duboise untuk mengatur segalanya." Kepala McPhee menunduk di antara kedua pundaknya selama pengakuan Stokes. Ia tahu bahwa ia telah tertelanjangi dan tak bersuara lagi. Frank melihat perubahan itu lalu berpaling kepadanya. "Coba katakan, Pak McPhee, bagaimana anda sampai mempunyai pikiran menggunakan akal-akalan Raja George ini?" McPhee mengangkat bahu tak berdaya. "Sudah sejak lama aku selalu menghadiri perayaan Mardi Gras," katanya. "Entah sejak kapan aku berperan sebagai Raja George. Itu suatu hobi bagiku. Aku menjadi semacam tokoh setempat. Mereka minta aku ikut arak-arakan dan menjadikan aku sebagai bintangnya." "Lalu mengadakan pertemuan tahunan pada akhir perayaan Mardi Gras di dalam kota yang penuh wisatawan, di mana tak seorang pun akan mencari anda. Tepat sekali!" "Sudah tentu. Tak seorang pun akan memperhatikan ketika aku membawa barang-barang ram-pasanku kemari. Ini tempat yang aman sekali." "Anda adalah seorang pengusaha," kata Joe. "Anda telah memiliki toko anda di Bayport sejak bertahun-tahun. Apakah anda belum cukup mendapatkan uang tanpa melakukan pencurian?" McPhee mengangkat bahu. "Memang demikianlah keadaanku dalam waktu yang cukup lama. Tetapi kemudian aku membuat investasi yang buruk. Demi mencegah hilangnya perusa- haanku, aku merencanakan beberapa perampokan untuk dapat berdiri teguh lagi. Itu sudah beberapa tahun yang lalu. Kemudian pencurian-pencurian itu menjadi semakin banyak hasilnya ...." "Memang banyak sekali," kata Chet tak dapat menahan diri. McPhee mengangkat bahu. "Ya, kau menang, atau kau kalah." "Kalau kalian sudan selesai mengajukan pertanyaan, aku akan membawa dia ke kantor," kata Pak Lloyd, ketika semua menjadi diam. "Masih ada satu lagi yang ingin kutanyakan," kata Joe. "Bagaimana caranya kaus kaki ayah sampai berada pada sebuah boneka voodoo?" Ia merogoh sisa-sisa kaos kaki itu dan menunjukkannya kepada McPhee. Orang itu tertawa. "Itu hasil pikiran Dubois. Ketika ayahmu mulai menangani perkara ini, kukatakan kepada orang-orang ini bahwa aku, menjadi gelisah. Aku bahkan hendak membatalkan pesta untuk tahun ini. Ternyata memang seharusnya aku membatalkannya!" "Ah, tetapi Stokes dan Dubois tidak menghendaki hal itu terjadi," kata Joe. "Mereka tentu akan kehilangan komisinya! Karena itulah Dubois lalu menjanjikan kepada anda akan membereskan ayahku dengan guna-guna, begitu 'kan?" "Memang. Dan kukira, tentu tak akan ada hasilnya," McPhee mengaku. "Ketika anda datang ke rumah kami, anda minta permisi ke belakang. Sementara ayah ada di kamar kerjanya, anda lalu mengambil kaus kaki ini dari keranjang cucian di kamar mandi, bukan?" "Memang. Itu mudah sekali." "Bagaimana anda bisa bertemu dengan Stokes dan Dubois?" tanya Frank. "Pada perayaan Mardi Gras beberapa tahun yang lalu," jawab McPhee. "Aku telah membuat mereka kaya dengan mempekerjakan mereka!" "Karena itulah mereka dapat membeli kelab-kelab itu," Frank menyimpulkan. "Setelah Dubois menakut-nakuti para pemilik kelab agar mau menjual kelab mereka dengan murah. Ia menghendaki agar Jazz Alley menjadi satu-satunya kelab di kota ini, bukan?" kata Chet dengan menantang. Dubois memandangi Chet dengan dingin. "Itu bukan buah pikiranku sendiri. Stokes dan aku berkongsi, ingat?" "Ah, kami tak akan lupa. Jangan khawatir," kata kepala polisi. Sementara ia dan orang-orangnya menggiring para penjahat ke bawah, Frank berpaling kepada Joe. "Jazz Alley barangkali terpaksa ditutup sekarang, dan banyak usaha-usahanya akan mengalir kepada kakek Stretch." "Tentu saja aku berharap begitu," kata adiknya sambil menyeringai. "Kakek Stretch berhak akan hal itu." Ketika malam itu ketiga pemuda kembali ke kelab, mereka melihat orang tua itu sedang membersihkan alat tiupnya di pentas. "Kami mempunyai berita baik bagi anda," seru Joe. Mereka lalu menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Pemain musik jazz yang tua itu tersenyum lebar. "Anak-anak, aku sangat berterimakasih atas segala yang kalian lakukan untukku," katanya. "Jangan dipikirkan lagi," kata Frank. "Kami telah menikmati waktu-waktu yang indah di New Orleans ini. Nah, sekarang izinkanlah aku menelepon lapangan terbang, menanyakan apakah kami masih dapat memperoleh tempat untuk penerbangan ke rumah." Ia pergi ke tempat telepon dan beberapa menit kemudian datang kembali. "Kami akan berangkat besok jam sembilan pagi. Sekali lagi, terima kasih atas segala bantuan anda, kakek Stretch." Orang tua itu mengangguk, tiba-tiba pandangannya nampak sedih. "Sebenarnya aku tak senang kalian pergi," katanya lirih. "Tetapi kalau kalian telah kembali di Bayport, katakan kepada cucuku bahwa di sini semuanya baik-baik saja." "Akan kami sampaikan," Frank berjanji sambil menjabat tangan kakek Stretch. Esok harinya pagi-pagi, para pemuda itu meninggalkan kelab yang sepi itu. Tangan mereka menenteng kopor. Mereka bersepakat untuk tidak memberitahu Pak Hardy terlebih dulu, dengan maksud untuk memberikan kejutan. "Hee, kita lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Clem," kata Chet tiba-tiba. "Bagaimana pun ia telah menyelamatkan batang leher kalian tadi malam." "Barangkali ia sedang menuju ke Swamp Creek kembali. Kulihat ia menyelinap pergi ketika polisi dan kita sedang menanyai Stokes dan McPhee," kata Frank. "Perkara terhadap dia tentu akan dihapuskan, dan aku yakin, ia tentu gembira telah menang perang melawan Raja." "He, Anak-anak!" Terdengar suara di belakang mereka. Mereka menoleh, melihat kakek Stretch berlari-lari mengejar mereka di jalan. "Aku tadi datang ke kelab untuk mengantarkan kalian ke lapangan terbang. Hampir terlambat!" Para pemuda itu kembali, mengikuti kakek itu ke mobilnya. Tak lama kemudian mereka telah ada di atas pesawat. Kakek itu tinggal untuk melihat pesawat tinggal landas, melambai-lambaikan tangannya ketika pesawat mulai meninggalkan tanah. Menjelang sore hari, Frank dan Joe telah sampai di rumah. Ayah mereka memang terkejut heran melihat mereka pulang, dan dengan bangga mendengarkan mereka bercerita tentang misteri yang mereka hadapi. Kemudian mereka menelepon Peter Walker, mengatakan bahwa kakeknya telah terlepas dari kesulitan. "Bagaimana aku dapat membalas budi kalian?" kata bintang bola basket itu dengan lega. Joe tertawa. "Cukup dengan membantu memenangkan semua pertandingan. Kami merasa perlu pikiranmu teralih dari masalah voodoo, dan kembali bermain pada musim pertandingan tahun depan!" Setelah meletakkan gagang telepon, Joe terpikir sendiri, apakah ia masih akan menghadapi misteri-misteri lagi. Meskipun ia belum mengetahuinya, ternyata tak lama kemudian mereka akan menghadapi misteri lain lagi. Ia menengadah, melihat bibi Gertrude sedang berdiri di pintu. "Coba terka, bibi," kata Joe. "Masa kami menemukan kaus ayah yang hilang!" "Yang benar!" kata Bibi tak percaya. "Kalian di rumah saja tidak!" "Kaus kaki itu juga tidak ada di rumah," kata Joe. "Kami temukan pada sebuah boneka voodoo." Mulut Bibi ternganga lebar melihat sisa-sisa kaus kaki yang sudah tak keruan bentuknya. "Apa?" "Maksudnya untuk mengguna-gunai ayah," Joe menjelaskan. "Tetapi jangan kuatir. Ini tak ada khasiatnya." Bibi Gertrude menggeleng-gelengkan kepala. "Semua yang terjadi pada urusan ini sepertinya tidak ada yang dapat dipercaya!" TAMAT Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net